Percakapan di suatu sore menjelang malam,
Saya: “Pa, aku boleh beli komik gak?”Papa: “Tumben bilang-bilang dulu.”S: (gubrak) “Soalnya komiknya agak mahal gitu. Terus aku mau beli banyak gitu. Tapi gak sekaligus sekarang kok. Nyicil-nyicil.”P: “Komik apa?”S: “Judulnya... Kungfu Boy.”P: (geleng-geleng kepala) “Kak, kak... kok masih kayak anak kecil gitu sih kau?”S: “Bukan komik anak-anak kok. Jangan nilai dari judulnya doang dong. Dia udah makin besar sekarang.”P: “Jadi ini komik baru pas dia udah dewasa?”S: “Eh? Enggak sih. Yang mau aku beli justru pas dianya masih kecil. Komik yang awal-awal...”P: (diam sambil mengerutkan kening) “...”S: (merasa harus memberi tambahan informasi) “Ini komik aslinya udah langka, Pa. Sekarang diterbitin ulang lagi. Tadinya ada 37 seri, sekarang dicetak ulang tapi dua komik dijadiin satu gitu. Jadi tebel gitu satu komiknya sekarang, agak mahal memang jadinya. Ceritanya bagus banget kok. Udah nemenin aku dari SD loh. Aku banyak belajar dari komik ini. Kelak akan aku wariskan ke anak-anakku.” (kalimat terakhir bilangnya dalam hati, hhaha)
Menurut saya, Kungfu Boy layak dapat judul yang lebih keren, lebih macho, lebih maskulin, lebih berbahaya mungkin? Menurut Anda? Versi Bahasa Inggrisnya saja dijudulkan Iron Fist Chinmi (Chinmi si Tinju Besi), mantap kan itu? Kenapa yang versi Bahasa Indonesia jatuhnya jadi Kungfu Boy (Si Bocah Kungfu)? Tapi ya sudahlah, toh yang penting isinya.
Saya lupa kapan dan bagaimana tepatnya saya mulai mengenal komik ini. Tapi Kungfu Boy sudah lama menemani saya dan, di luar dugaan, banyak memberi pelajaran untuk pembetukan kepribadian. Terima kasih Takeshi Maekawa. Semoga Anda sehat-sehat terus dan diberi umur panjang, supaya Chinmi bakal terus beraksi sampai saya nenek-nenek. Ayo semuanya doain yah!
Saya rasa wajar saja komik banyak menjadi salah satu buku yang berpengaruh bagi seorang yang gemar baca. Kebanyakan pembaca mungkin seperti saya yang sudah gemar membaca sejak bisa mengingat. Tapi yang dibaca awalnya adalah buku-buku dongeng, yang menjerumuskan saya pada konsep akhir cerita yang ‘dan mereka pun hidup bahagia selama-lamanya’ yang sampai sekarang masih saya pegang. Ya, saya lebih suka cerita dengan akhir bahagia.
Kemudian bacaan saya berkembang ke komik (Jepang) yang menurut saya sedikit lebih kompleks. Lebih banyak konflik, baik eksternal maupun internal, permasalahannya lebih nyata, tokohnya lebih beragam dan berkembang (apalagi kalau komik berseri), gambarnya lebih eksplisit, tapi tetap kebanyakan menganut paham akhir-cerita-yang-bahagia, yang tentu saja saya suka, hehe. Sampai SD akhir atau awal-awal SMP, baru saya mulai memperluas bacaan ke ranah novel dan non-fiksi. Tapi komik tidak pernah saya tinggalkan, sampai sekarang.
Saya agak gerah kalau menghadapi orang yang pandang sebelah mata sama komik. Seakan-akan derajat komik enggak bisa disamakan dengan buku macam novel. Halooo... jelas-jelas komikus tuh selain bisa bikin cerita yang enggak kalah seru sama novel, dia juga bisa gambar dengan konsep! Ada banyak langkah-langkah dalam peneluran sebuah komik. Usahanya justru lebih keras dari ‘sekedar’ mengetik huruf-huruf. Tentu saja, saya juga pecinta novel dan buku-buku lain yang non-komik, tapi komik tidak pernah saya anggap lebih cemen daripada buku lainnya. Coba baca One Piece-nya Eiichiro Oda dan bilang komik itu cemen... hati-hati diamuk massa! Ahahaha.
Kungfu Boy adalah satu dari sekian banyak komik yang banyak memberi saya pelajaran berharga. Karakter utamanya, Chinmi yang tidak saya ketahui nama belakangnya itu, sangat saya kagumi. Bisa dibilang dia itu idola saya di kancah perkomikan, diikuti oleh Luffy, terus Hikoza, terus Zorro, terus Izaku, terus Gunte, terus masih banyaaaaak lagi. Hahaha. Yayaya, agak serius dulu kita yah.
Dalam cerita Kungfu Boy, ceritanya si Chinmi ditakdirkan sebagai ‘jago kungfu yang kelak akan menyempurnakan Kungfu Dairin yang muncul setelah 100 tahun Kuil Dairin berdiri’. Begitulah. Ceritanya Chinmi akan jadi pekungfu yang jago bukan main. Tapi yang paling menarik adalah melihat perkembangan Chinmi dari volume ke volume. Dia tidak langsung menjadi tokoh yang sempurna dan tak bercela, justru di awal-awal Chinmi banyak kekurangannya. Tokoh-tokoh yang mengingatkan Chinmi akan kekurangan-kekurangannya pun kadang tanpa basa-basi bilangnya, sampai saya jadi kasihan sama Chinmi. Tapi Chinmi tidak pernah putus asa dan berbesar hati untuk selalu memperbaiki diri.
Satu contoh yang paling membekas di saya, saya merasa tertampar waktu ada adegan Chinmi menangkap ikan sebanyak yang dia bisa dengan riangnya untuk dimakan bersama si Pak Tua, terus Pak Tua malah bilang Chinmi takabur. Ouch. Jadi secara enggak sadar Chinmi sudah menyombongkan diri ke Pak Tua kalau dia itu bisa menangkap ikan sebegitu banyak. Terus Chinmi merasa terpukul dan memikirkan baik-baik perkataan Pak Tua dan dia pun berusaha mengubah kekurangannya itu.
Saya merasa dulu (dan sampai sekarang) sering takabur juga, dan baru sadar waktu baca adegan Chinmi yang tadi itu. Saya sering pamer, dengan pemikiran saya ingin berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Misalnya, saya pamer koleksi perangko yang dari negara mana saja ada. Dulu saya senang memamerkan koleksi perangko saya dan ingin orang yang saya kasih tunjuk itu juga senang dan berbagi kebahagiaan dengan saya. Rasanya enggak pernah saya pamer untuk membuat orang merasa lebih rendah dari saya. Tapi itulah, kadang saya tidak sadar sudah bersikap sombong, dan kalau tiba-tiba saya sadar akan kesombongan sendiri, saya langsung kepikiran Chinmi yang dinasihati Pak Tua itu dan berusaha lebih mawas diri lagi, sambil jewer kuping sendiri, hehehe. Jadi saya juga masih berusaha memperbaiki diri sampai sekarang berkat Chinmi.
Banyak sekali sebenarnya pelajaran yang saya ambil dari kisah Chinmi. Pentingnya keseimbangan seperti yang dianalogikan oleh Yin dan Yang, ketulusan perbuatan dan hati, setia pada kawan, pantang menyerah, mencintai dan mengejar passion-nya, dan hal ideal lainnya. Saya baca Kungfu Boy sudah puluhan kali, berulang-ulang. Saya sudah cukup puas waktu Kungfu Boy berakhir di volume 37. Terus bertahun-tahun kemudian (iya gitu?) saya melihat NEW Kungfu Boy di toko buku. Reaksi pertama saya adalah curiga, ini asli apa bajakan. Ternyata asli bikinan Takeshi Maekawa! Dan ini saya...
"Ternyata beneran yah? Serius nih?" |
Terus berakhirlah cerita NEW Kungfu Boy di volume 20, saya berharap entah bagaimana lanjutannya masih ada. Kemudian terbit Kungfu Boy Legends! Dan saya pun...
Sampai sekarang saya masih belajar dari Chinmi. Dia sudah lebih dewasa dan sudah jadi pengajar kungfu di Kuil Dairin. Isu-isu yang diangkat oleh Maekawa juga lebih serius, walaupun unsur humor juga tidak pernah kelupaan. Bagi saya yang ditemani komik ini dari saya SD hingga sudah lepas kuliah sekarang, Chinmi sudah sangat berharga bagi saya. Rasanya seperti berkembang bersama-sama karakter fiksi ini. Pesan-pesan moral yang saya dapat dari Kungfu Boy memang sangat sederhana. Tapi kayak yang Marchella FP bilang lewat buku Generasi 90an-nya, “Kebahagiaan itu sederhana.”
_________
Artikel ini ada untuk ikut meramaikan proyek Irwan Bajang, #5BukuDalamHidupku. Ini adalah buku ke-4 dari saya. Buku ke-1 saya adalah Hiroshima-nya John Hersey, ke-2 The Secret-nya RhondaByrne, dan ke-3 Abarat-nya Clive Barker.
No comments:
Post a Comment
Hi! Thanks for stopping by. I ALWAYS love book talks! So, do leave your comment about this post, it's free ;)