Tuesday, November 12, 2013

Hiroshima – John Hersey untuk #5BukuDalamHidupku

Hiroshima
Ada satu kutipan yang rasa-rasanya menembus sampai ke hati saya saking saya merasa hal itu benar banget. Saya sempat terdiam sebentar saat membacanya, saya pikir, “Ini, ini menjelaskan dengan baik sekali perasaan saya tentang Hiroshima-nya Hersey!” Kutipan ini baru-baru saja saya temui ketika saya baca The Fault in Our Stars karya John Green.

“Sometimes, you read a book and it fills you with this weird evangelical zeal, and you become convinced that the shattered world will never be put back together unless and until all living humans read the book.”

Dan buku yang membuat saya berpikir dan merasa seperti itu, sejauh ini, adalah Hiroshima karya John Hersey.




Pertama kali saya tahu tentang buku ini adalah saat saya masih aktif di pers mahasiswa universitas saya. Di situ saya berkenalan dengan begitu banyak bacaan yang mungkin tidak akan saya baca kalau saya tidak bergabung di organisasi itu. Pada suatu kesempatan, saya beruntung bisa berkenalan dengan wartawan hebat Indonesia, tapi dia enggak bakal suka dibilang begitu, yang juga aktivis hak asasi manusia, Oom Andreas Harsono. Waktu itu dia merekomendasikan untuk membaca Hiroshima karena itu contoh paling bagus untuk melihat bagaimana jurnalisme sastrawi (atau lebih tepatnya jurnalisme narasi) digunakan. Jadi, ya saya baca (saya kan penurut, hehe).

Hiroshima bercerita tentang bagaimana enam dari sekian banyak korban bom atom Hiroshima, menghadapi serangan itu dan kemudian bertahan hidup. Sederhana. Memang cuma itu yang diceritakan dalam Hiroshima. Walaupun ‘cuma itu’, Hiroshima menyabet penghargaan sebagai ‘The Best Works of Journalism in the United States in the 20th Century’. Penghargaan yang diberikan pada Maret 1999 di Universitas New York ini diputuskan oleh 37 ahli-ahli bidang sejarah, jurnalistik, kepenulisan, dan akademis. Pertama kali diterbitkan Agustus 1946, Hiroshima berbentuk artikel panjang yang memaksa The New Yorker untuk menghilangkan semua rubrik lainnya dan hanya memuat Hiroshima saja dalam satu edisi. 

Begitu fenomenal, sampai si jenius Albert Einstein ingin membeli seribu eksemplar The New Yorker (tapi gagal dan tidak berhasil mendapatkan satu eksemplar pun) dan mengaku menyesal telah menciptakan teori atom. Segera saja tulisan ini dibukukan dan masih mengalami cetak ulang hingga saat ini. 

Versi Indonesia terbit 2008
Di Indonesia sendiri, kita bisa membaca Hiroshima terbitan Komunitas Bambu, bisa dibeli di sini. Sayangnya edisi Indonesia belum menyertakan satu bab baru yang ditambahkan John Hersey, bab kelima berjudul The Aftermath. Bab itu hasil tulisan Hersey setelah dia kembali ke Jepang 39 tahun kemudian dan mencari tahu nasib enam tokoh utamanya. Eeeh, maaf yah, saya memang bisa mengoceh panjang lebar tentang buku ini, karena buku ini jadi objek utama skripsi saya (walaupun saya dari Sastra dan bukan dari Komunikasi/Jurnalistik, saya enggak peduli, bagaimana pun saya ingin membahas Hiroshima untuk skripsi saya, untung dosen-dosen saya bisa terima, hahaha).

Setelah baca Hiroshima... saya terpukau! Menakjubkan! Bukan karena secara empiris buku ini sudah diakui dunia atau apalah, saya menilai cuma dari kontennya. Buku ini membuat saya terenyuh menangis, bukan karena sedih, tapi lebih karena perih. Perih mengetahui ada sebagian kecil dari sejarah manusia yang begitu tragis dan mengerikan. Buku ini punya efek cukup (atau sangat?) besar terhadap diri saya.

Semenjak membaca Hiroshima, saya selalu malu kalau berpikir saya punya permasalahan berat yang tidak mungkin bisa saya hadapi. Otak saya selalu kembali ke orang-orang, yang begitu detail digambarkan Hersey di Hiroshima, yang berhasil bertahan hidup selama tragedi bom atom Hiroshima. Daripada mengeluh tak henti-henti, saya jadi berusaha bersyukur atas apa yang saya punya dan bagaimana sehatnya dan beruntungnya dan mudahnya hidup yang saya punya ini. Buku ini juga membuat saya (cukup) mengerti kelaknatan perang. Perang tidak akan pernah menjadi jawaban yang bijaksana, selamanya tidak akan pernah. Penggunaan bom atom atas alasan apapun? Seumur hidup saya tidak akan berada di kubu pro, setelah saya menyaksikan apa yang terjadi di Hiroshima (lewat buku ini, tentu saja). Dampaknya terlalu mengerikan, bahkan sangat tidak manusiawinya efek bom atom, membuat saya tidak ingin hal itu terjadi terhadap orang yang paling saya benci sekalipun (siapa? hahaha).

Membaca Hiroshima juga membuka mata saya tentang jurnalisme yang seharusnya diketahui oleh masyarakat. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme mengatakan bahwa perkembangan dan kualitas suatu bangsa berbanding lurus dengan kualitas jurnalisme yang dikonsumsi. John Hersey menggunakan salah satu teknik sastra dalam artikel jurnalistiknya, yaitu narasi. Ini membuat tulisannya bisa disejajarkan dengan novel dan enak dibaca. Walaupun Hiroshima adalah laporan berita, dia mempunyai karakter, latar tempat, latar waktu, tema, konflik, deskripsi, dialog, alur, semua unsur intrinsik novel bisa ditemukan! Dan semuanya ditulis dengan detail yang mengerikan. Maksudnya, ini kan karya jurnalistik, jadi semua harus fakta dan benar adanya. Jadi, saat Hersey menggambarkan seorang nenek yang terluka di lutut kanannya sedang menggendong anak kecil di punggung sambil menggandeng anak lain dengan tangan kirinya, ITU BENAR-BENAR TERJADI SEPERTI ITU. Sebagai pembentuk opini publik, jurnalis seharusnya sadar beban tanggung jawabnya itu dan tidak membuat berita semacam ‘Perempuan Seksi Digrepe Payudaranya di Angkot oleh Laki-laki Hidung Belang Kemudian Si Perempuan Langsung Turun dari Angkot tapi Ujung-ujungnya Diperkosa Genderuwo’. Sayangnya, berita koran kuning seperti itulah justru yang diraup masyarakat kita.

Hiroshima karya John Hersey punya tempat sendiri dalam hati saya. Dan saya berharap lebih banyak orang bisa merasakan apa yang saya rasakan. Mengutip Saturday Review of Literature tentang buku ini, “Everyone able to read should read it.”

Ini secuil adegan yang saya ambil dari halaman 50 buku Hiroshima terbitan Vintage Books tahun 1989 yang saya pakai untuk bahan skripsi saya. Saya merasa perlu memberi gambaran sekilas bagaimana John Hersey mengemas berita dengan gaya tulisan seperti novel. Buku ini bisa dibaca siapa saja, penikmat tulisan berat ataupun bukan, penikmat sejarah ataupun bukan.


Nevertheless, he went up to one of the Army doctors and said, as reproachfully as he could, “Why have you not come to Asano Park? You are badly needed there.”
Without even looking up from his work, the doctor said in a tired voice, “This is my station.”
“But there are many dying on the riverbank over there.”
“The first duty,” the doctor said, “is to take care of the slightest wounded.”
“Why—when there are many who are heavily wounded on the riverbank?”
The doctor moved to another patient. “In an emergency like this,” he said, as if he were reciting from a manual, “the first task is to help as many as possible—to save as many lives as possible. There is no hope for the heavily wounded. They will die. We can’t bother with them.”
“That may be right from a medical standpoint—” Mr. Tanimoto began, but then he looked out across the field, where the many dead lay close and intimate with those who were still living, and he turned away without finishing his sentence, angry now with himself.


Nah, apakah Anda seperti sedang membaca berita? Hehehe.
__________
Artikel ini ada untuk meramaikan proyek Irwan Bajang, #5BukuDalamHidupku. Terima kasih, Bung, idenya menarik sekali! Walaupun sebenarnya saya enggak perlu mudik ke blog, karena saya lagi rajin-rajinnya update blog saya ini (baru sih blognya, haha). Tapi memang pasti senang sekali kan bisa mengoceh tentang buku yang punya efek ke diri sendiri? Yang mau ikutan, lihat di sini untuk detailnya. Masih bisa ikutan! Karena mulainya hari ini. Yuk, bagi cerita tentang #5BukuDalamHidupku eh Hidupmu.

13 comments:

  1. hahaha, bener ya, aku juga nggak perlu mudik ke blog karena lagi berusaha minimal sehari poating satu tulisan di blog :)
    kayaknya nggak akan baca buku ini deh, beratttt, lebih suka kalo diceritain aja :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. bukunya gak berat kok. serius gak berat. bahasanya to-the-point, minim istilah yang njelimet, persis novel juga gaya penulisannya, cuma semua yang ada memang fakta.
      baca baca baca baca *berusaha menghipnotis sulis* hahaha

      Delete
    2. enggak berat, sumpah! bukunya juga kecil amat

      Delete
  2. aduh, jadi pengen punya buku ini. menarik baca reviewnya nih... btw, itu yang terjemahan Indonesia belum ada tambahan tulisan barunya gitu ya? apa ada versi terbitan terbarunya?

    btw, kalo liat tanggal postingan blog bukuku, udah sebulan ga posting di blog. jadi ada event ini lumayan juga buat balik pulkam haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. kurang tau juga sih apa Komunitas Bambu udah memperbarui terbitannya, tapi kalo terbitan mereka yang taun 2008 sih cuma sampe bab 4 (tapi udah bisa dianggap selese kok).

      hihi, berarti niat Irwan Bajang untuk bikin Evyta mudik ke blognya berhasil ;D

      Delete
  3. Waktu lo jelasin bahasa inggrisnya, gw ngangguk2 aja ni

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siapa ni?
      Anonymus jangan lupa pake nama dong, hahaha

      Delete
  4. Ternyata aku punya buku ini, yg terbitan KOBAM. Baru ngeh pas ada cover versi Indonesianya. Saya pasti akan membacanya. Terima kasih telah mereview ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masama Mas Dion :)
      Ditunggu reviewnya kalo gitu! Hahha.

      Delete
  5. seneng baca tulisan ini, jadi inget masa-masa kuliah... Jurnalisme sastrawi memang menarik, dan jadi tertarik baca buku ini :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. ayo diburu bukunya :)
      jurnalisme sastrawi sebenarnya punya masa depan cerah, tapi sepertinya indonesia masih belum siap untuk ini ;(
      contoh reportase yang mendekati jurnalisme sastrawi sejauh ini mungkin Tempo, tapi itu juga masi jauh sih.

      Delete
  6. baru tau juga soal buku ini, klo liat di toko buku dengan cover yang seperti itu gak bakalan deh dilirik, apalagi dibeli.
    Untung iseng baca blog ini, thx buat ulasannya, bagus, enak dibaca. jadi minat cari buku ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih snul :)
      aku sebenarnya suka sekali dengan blogmu! bacaan2mu menarik. bahkan aku sampe ikut baca 101 Creative Notes-nya Yoris Sebastian karena nengok blogmu x)

      Delete

Hi! Thanks for stopping by. I ALWAYS love book talks! So, do leave your comment about this post, it's free ;)



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...