Saturday, November 16, 2013

Buku Terakhir untuk #5BukuDalamHidupku



Anak perempuan ini tumbuh di keluarga yang hampir tidak pernah ke gereja. Makanya dia tidak pernah merasakan yang namanya sekolah minggu. Dia pernah bertanya kepada orang tuanya, alasannya adalah karena gereja terdekat butuh dua jam perjalanan dan keluarganya tidak punya kendaraan pribadi. Memang, kabarnya usaha pembangunan gereja di Cilegon selalu gagal. Katanya digagalkan oleh orang-orang fanatik khas Banten. Jadi gereja tidak ada di kota kecil macam Cilegon, cuma ada di ibukota, Serang. Dengan otak polosnya, anak itu menganggap alasan itu sudah cukup. Terlalu repot cuma untuk ke gereja saja. Lagian ayahnya bilang, “Tuhan kan ada dimana-mana. Bentuk ibadah bukan cuma kumpul-kumpul di gereja saja.”

Awalnya dia tidak merasa ada yang salah dengan hal itu. Anak perempuan ini disekolahkan di sekolah milik yayasan Katolik. Dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama dihabiskan di sekolah yayasan tersebut. Pelajaran agama yang diwajibkan adalah agama Katolik. Walaupun secara teknis anak perempuan ini beragama Kristen Protestan, dia tidak begitu tahu dan tidak peduli juga kalau ternyata kedua agama ini berbeda. Kemudian datanglah waktunya ujian praktik agama untuk lulus EBTANAS sekolah dasar.

Seorang guru akan menyebutkan nama kitab, ayat dan pasalnya, kemudian murid harus cepat mencarinya di Alkitab dan membacakannya. Teman-teman si anak perempuan tidak ada yang terlihat panik. Mereka sudah biasa membaca dan membuka-buka Alkitab sehingga ujian macam itu seperti membalikkan telapak tangan. Si anak perempuan yang jarang membaca Alkitab itu gugup luar biasa. Dia takut kalau-kalau si guru menyebut nama kitab yang tidak bisa dia ingat posisinya di Alkitab dan dia pun harus berkutat dengan Alkitabnya, memakan waktu lebih lama dari yang diharapkan. Entah beruntung entah si guru kasihan melihat kegugupan si anak perempuan, kitab yang harus dicarinya adalah Matius, kitab pertama dari Perjanjian Baru yang letaknya ada di sisi paling atas dan si anak perempuan juga kebetulan ingat posisinya. Dia pun lulus.

Kurang lebih masa SMP-nya dilewati dengan kemiskinan spiritualitas yang sama seperti saat dia SD. Teman-temannya selalu heran karena tidak pernah melihat anak perempuan ini di gereja mana pun. Sekali waktu anak perempuan ini ke gereja, keheranan teman-temannya malah berlipat-lipat. “Tumben,” kata mereka. Tentu mereka tidak berniat jahat, tapi entah kenapa si anak perempuan merasa malu dan mengurungkan niat untuk memaksakan diri pergi ke gereja lagi. Dia tidak ingin disangka bergereja karena tekanan omongan teman-temannya. Dia malah jadi merasa seperti sudah mencurangi Tuhan-nya.

Dia pun bertekad mempertebal imannya yang tak seberapa itu dengan memanfaatkan satu-satunya fasilitas keagamaan yang ada di rumahnya, yaitu Alkitab. Dia punya niat untuk membaca habis Alkitab, dari awal hingga akhir. Tapi ternyata hal tersebut tidak semudah bayangannya. Tadinya dia yakin dengan dirinya sendiri karena anak perempuan ini sebenarnya punya hobi membaca dan tidak pernah kesulitan membaca buku-buku tebal. Entah kenapa, membaca Alkitab dari awal hingga akhir tidak pernah bisa dicapainya.

Hingga dia lulus dari SMP-nya, Alkitab itu belum juga habis dibacanya. Si anak perempuan memutuskan untuk melanjutkan SMA di Bandung. Kota tersebut punya banyak gereja, bertebaran di mana-mana. Si anak perempuan senang! Dia pun segera mengurus pendaftaran ke salah satu gereja yang jaraknya lima menit dari rumahnya. Selama tiga tahun dia ber-SMA, jarang sekali anak perempuan ini bolos gereja. Malah dia memberanikan diri ikut kelas katekisasi di gerejanya tersebut. Kelas tersebut pertemuannya sekali seminggu selama tiga bulan, membahas hal-hal alkitabiah. Si anak perempuan saat itu merasa benar-benar banyak belajar hal baru. Dia layaknya gelas kosong yang sedang menerima kucuran air. Di akhir masa belajarnya itu, si anak perempuan beserta peserta kelas lainnya menerima baptis dewasa. Sungguh seperti langkah yang besar baginya. Namun pikirannya masih tertambat pada Alkitab yang belum juga berhasil dia selesaikan. Dia sadar pengetahuan Alkitab-nya jauh di bawah rata-rata. Banyak cerita-cerita Alkitab yang dia tidak ketahui. Jadi dia pun tahu diri dan tidak pernah berbangga diri tentang ilmu agamanya.

Selama SMA, si anak perempuan hidup menumpang di rumah kerabatnya. Suatu hari, sepupunya mengajaknya bergabung ke salah satu paduan suara di Bandung. Paduan suara itu unik. Mereka terbentuk dari denominasi gereja-gereja di Bandung. Anggotanya beragam. Ada yang Kristen Protestan, Katolik, Kristen Advent, entah mungkin ada juga yang Saksi Yehova. Si anak perempuan selalu suka lingkungan yang heterogen. Itu juga alasannya tidak memilih gereja yang kental dengan satu kesukuan atau ras tertentu. Jadi dia bergabung dengan paduan suara tersebut. Sebenarnya dia tidak percaya diri karena dia sebelumnya tidak pernah punya latar belakang menyanyi, hobinya pun bukan bernyanyi. Tapi sudahlah, pikirnya.

Paduan suara tersebut mengajarkan hal baru lagi pada si anak perempuan. Si pelatih yang disiplin itu selalu menekankan anak didiknya supaya menyanyi dari hati. “Kalian kan bernyanyi untuk memuji nama Tuhan, jadi harus sesempurna mungkin. Tapi yang paling penting, harus menyanyi dari hati. Sembah Tuhan-mu dengan hatimu.” begitu kira-kira kata si pelatih. Dengan kata-kata itu, si anak perempuan sadar, dia akhirnya punya wadah untuk menyalurkan rasa syukur dan sembahnya melalui bernyanyi di paduan suara itu, dan dia pun bersyukur. Menyanyi dengan teknik pas-pasan masih menjadi masalahnya di paduan suara itu, tapi dia jarang berkecil hati. Si anak perempuan hanya ingin bernyanyi memuji nama-Nya. Urusan teknik nanti-nanti.

Semakin dewasa, si anak perempuan tidak semakin religius. Kenapa? Dia melihat begitu banyak kejahatan yang mengatasnamakan agama. Dia melihat orang-orang yang beragama saling tuding dan saling bunuh. Dia melihat agama dijadikan kendaraan politik yang kotor. Dia melihat orang beragama merasa yang lain laknat dan dirinya yang paling suci. Dia melihat agama tidak berhasil memanusiakan manusia. Dia melihat agama sudah menjadi kewajiban dan rutinitas. Dia pun sadar bahwa bagaimana pun agama hanyalah bentukan manusia. Dia memang belum juga menamatkan Alkitab-nya, tapi dia tahu, Tuhan-nya tidak pernah menciptakan agama. Dia juga pada akhirnya tahu, bahwa Tuhan-nya tidak pula menciptakan Alkitab.

Alkitab ditulis oleh banyak tangan. Nabi ini, nabi itu, orang suci ini, orang suci itu. Tuhan Yesus sendiri tidak menulisi Alkitab. Seiring umurnya bertambah, si anak perempuan semakin gamang dengan spiritualitasnya. Dia mendapati bahwa ternyata ada kitab-kitab lain yang entah apa alasannya sekarang tidak dimasukkan di Alkitabnya. Ditemukan Injil Yudas, Injil Maria Magdalena, dan lain-lain. Siapa tahu, Alkitab sudah mengalami penyeleksian, pengurangan, penambahan, perubahan seiring zaman berkembang. Versi Alkitab pun macam-macam. Nah, siapa yang memutuskan semua itu? Si anak perempuan tidak tahu. Apakah Vatikan? Apakah petinggi-petinggi gereja di Barat sana? Dari sejarah, dia tahu gereja tidak selalu benar. Setiap mengingat Galileo dan Joan d’Arc, si perempuan sakit hati akan tindakan gereja masa itu. Jadi, untuk beracuan pada Alkitab yang mereka susun pun, si anak perempuan merasa ragu.

Tidak, dia tidak ragu akan Tuhan-nya. Dia ragu akan manusia-manusia yang menyusun kitab sucinya. Namun dia tidak berani berargumen dengan siapa pun mengenai ini. Dia tahu ilmu agamanya masih sama dengan nol. Sekarang dia cuma berpegang pada hukum utama dari Yesus Kristus. Karena Yesus menyebutnya sebagai yang utama dari ajaran-Nya, si anak perempuan merasa untuk saat ini cukup lah itu dulu yang dia ikuti. Hukum yang utama dan terutama dari ajaran Kristus adalah untuk saling mengasihi. Hukum Kasih. Mengasihi Allah dengan segenap hati dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Si anak perempuan merasa perintah untuk mengasihi itu sangat baik dan sesuai dengan nuraninya. Dia tidak merasa ada yang salah dengan itu, jadi dia menerimanya sebagai hukum yang utama dari kekristenan.

Si anak perempuan juga melihat bahwa kasih itu disalurkan dengan melakukan kebaikan. Dia setuju dengan ucapan Dalai Lama yang mengatakan dengan bijaksananya, “My religion is kindness.” Pertama kali mengetahui tentang ucapan Dalai Lama itu, bisa dibilang si anak perempuan heran bukan main. Bahkan tokoh besar agama Buddha tidak serta merta mengatakan agama Buddha sebagai agamanya! Agamanya adalah Kebaikan. Kasih! Si anak perempuan kemudian merasa bahwa kasih adalah bahasa universal. Tidak butuh agama yang mengkotak-kotakkan manusia.

Sampai sekarang si anak perempuan masih berniat menamatkan Alkitabnya. Ingin membacanya dari awal hingga akhir, baru berbicara. Mungkin jika tiba saatnya, dia pun bisa memutuskan sikapnya atas agama.

__________
Artikel ini ada untuk meramaikan proyek Irwan Bajang, #5BukuDalamHidupku. Ini adalah buku terakhir dari saya. Sebelumnya ada Hiroshima-nya John Hersey, The Secret-nya Rhonda Byrne, Abarat-nya Clive Barker, dan Kungfu Boy-nya Takeshi Maekawa. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung siapa pun. Tapi kalaupun memang ada yang merasa tersinggung, saya minta maaf sedalam-dalamnya. Salam Damai!

No comments:

Post a Comment

Hi! Thanks for stopping by. I ALWAYS love book talks! So, do leave your comment about this post, it's free ;)



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...