Anak perempuan ini tumbuh
di keluarga yang hampir tidak pernah ke gereja. Makanya dia tidak pernah
merasakan yang namanya sekolah minggu. Dia pernah bertanya kepada orang tuanya,
alasannya adalah karena gereja terdekat butuh dua jam perjalanan dan
keluarganya tidak punya kendaraan pribadi. Memang, kabarnya usaha pembangunan
gereja di Cilegon selalu gagal. Katanya digagalkan oleh orang-orang fanatik
khas Banten. Jadi gereja tidak ada di kota kecil macam Cilegon, cuma ada di
ibukota, Serang. Dengan otak polosnya, anak itu menganggap alasan itu sudah
cukup. Terlalu repot cuma untuk ke gereja saja. Lagian ayahnya bilang, “Tuhan
kan ada dimana-mana. Bentuk ibadah bukan cuma kumpul-kumpul di gereja saja.”
Awalnya dia tidak merasa
ada yang salah dengan hal itu. Anak perempuan ini disekolahkan di sekolah milik
yayasan Katolik. Dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama
dihabiskan di sekolah yayasan tersebut. Pelajaran agama yang diwajibkan adalah
agama Katolik. Walaupun secara teknis anak perempuan ini beragama Kristen
Protestan, dia tidak begitu tahu dan tidak peduli juga kalau ternyata kedua
agama ini berbeda. Kemudian datanglah waktunya ujian praktik agama untuk lulus
EBTANAS sekolah dasar.
Seorang guru akan
menyebutkan nama kitab, ayat dan pasalnya, kemudian murid harus cepat
mencarinya di Alkitab dan membacakannya. Teman-teman si anak perempuan tidak
ada yang terlihat panik. Mereka sudah biasa membaca dan membuka-buka Alkitab
sehingga ujian macam itu seperti membalikkan telapak tangan. Si anak perempuan
yang jarang membaca Alkitab itu gugup luar biasa. Dia takut kalau-kalau si guru
menyebut nama kitab yang tidak bisa dia ingat posisinya di Alkitab dan dia pun
harus berkutat dengan Alkitabnya, memakan waktu lebih lama dari yang
diharapkan. Entah beruntung entah si guru kasihan melihat kegugupan si anak
perempuan, kitab yang harus dicarinya adalah Matius, kitab pertama dari
Perjanjian Baru yang letaknya ada di sisi paling atas dan si anak perempuan
juga kebetulan ingat posisinya. Dia pun lulus.
Kurang lebih masa SMP-nya
dilewati dengan kemiskinan spiritualitas yang sama seperti saat dia SD.
Teman-temannya selalu heran karena tidak pernah melihat anak perempuan ini di
gereja mana pun. Sekali waktu anak perempuan ini ke gereja, keheranan
teman-temannya malah berlipat-lipat. “Tumben,” kata mereka. Tentu mereka tidak
berniat jahat, tapi entah kenapa si anak perempuan merasa malu dan mengurungkan
niat untuk memaksakan diri pergi ke gereja lagi. Dia tidak ingin disangka
bergereja karena tekanan omongan teman-temannya. Dia malah jadi merasa seperti
sudah mencurangi Tuhan-nya.
Dia pun bertekad
mempertebal imannya yang tak seberapa itu dengan memanfaatkan satu-satunya
fasilitas keagamaan yang ada di rumahnya, yaitu Alkitab. Dia punya niat untuk
membaca habis Alkitab, dari awal hingga akhir. Tapi ternyata hal tersebut tidak
semudah bayangannya. Tadinya dia yakin dengan dirinya sendiri karena anak
perempuan ini sebenarnya punya hobi membaca dan tidak pernah kesulitan membaca
buku-buku tebal. Entah kenapa, membaca Alkitab dari awal hingga akhir tidak
pernah bisa dicapainya.
Hingga dia lulus dari
SMP-nya, Alkitab itu belum juga habis dibacanya. Si anak perempuan memutuskan
untuk melanjutkan SMA di Bandung. Kota tersebut punya banyak gereja, bertebaran
di mana-mana. Si anak perempuan senang! Dia pun segera mengurus pendaftaran ke
salah satu gereja yang jaraknya lima menit dari rumahnya. Selama tiga tahun dia
ber-SMA, jarang sekali anak perempuan ini bolos gereja. Malah dia memberanikan
diri ikut kelas katekisasi di gerejanya tersebut. Kelas tersebut pertemuannya
sekali seminggu selama tiga bulan, membahas hal-hal alkitabiah. Si anak
perempuan saat itu merasa benar-benar banyak belajar hal baru. Dia layaknya
gelas kosong yang sedang menerima kucuran air. Di akhir masa belajarnya itu, si
anak perempuan beserta peserta kelas lainnya menerima baptis dewasa. Sungguh
seperti langkah yang besar baginya. Namun pikirannya masih tertambat pada
Alkitab yang belum juga berhasil dia selesaikan. Dia sadar pengetahuan
Alkitab-nya jauh di bawah rata-rata. Banyak cerita-cerita Alkitab yang dia
tidak ketahui. Jadi dia pun tahu diri dan tidak pernah berbangga diri tentang
ilmu agamanya.
Selama SMA, si anak
perempuan hidup menumpang di rumah kerabatnya. Suatu hari, sepupunya
mengajaknya bergabung ke salah satu paduan suara di Bandung. Paduan suara itu
unik. Mereka terbentuk dari denominasi gereja-gereja di Bandung. Anggotanya
beragam. Ada yang Kristen Protestan, Katolik, Kristen Advent, entah mungkin ada
juga yang Saksi Yehova. Si anak perempuan selalu suka lingkungan yang
heterogen. Itu juga alasannya tidak memilih gereja yang kental dengan satu kesukuan
atau ras tertentu. Jadi dia bergabung dengan paduan suara tersebut. Sebenarnya
dia tidak percaya diri karena dia sebelumnya tidak pernah punya latar belakang
menyanyi, hobinya pun bukan bernyanyi. Tapi
sudahlah, pikirnya.
Paduan suara tersebut
mengajarkan hal baru lagi pada si anak perempuan. Si pelatih yang disiplin itu selalu
menekankan anak didiknya supaya menyanyi dari hati. “Kalian kan bernyanyi untuk
memuji nama Tuhan, jadi harus sesempurna mungkin. Tapi yang paling penting,
harus menyanyi dari hati. Sembah Tuhan-mu dengan hatimu.” begitu kira-kira kata
si pelatih. Dengan kata-kata itu, si anak perempuan sadar, dia akhirnya punya
wadah untuk menyalurkan rasa syukur dan sembahnya melalui bernyanyi di paduan
suara itu, dan dia pun bersyukur. Menyanyi dengan teknik pas-pasan masih
menjadi masalahnya di paduan suara itu, tapi dia jarang berkecil hati. Si anak
perempuan hanya ingin bernyanyi memuji nama-Nya. Urusan teknik nanti-nanti.
Semakin dewasa, si anak
perempuan tidak semakin religius. Kenapa? Dia melihat begitu banyak kejahatan
yang mengatasnamakan agama. Dia melihat orang-orang yang beragama saling tuding
dan saling bunuh. Dia melihat agama dijadikan kendaraan politik yang kotor. Dia
melihat orang beragama merasa yang lain laknat dan dirinya yang paling suci. Dia
melihat agama tidak berhasil memanusiakan manusia. Dia melihat agama sudah menjadi kewajiban dan rutinitas. Dia pun sadar bahwa
bagaimana pun agama hanyalah bentukan manusia. Dia memang belum juga menamatkan
Alkitab-nya, tapi dia tahu, Tuhan-nya tidak pernah menciptakan agama. Dia juga
pada akhirnya tahu, bahwa Tuhan-nya tidak pula menciptakan Alkitab.
Alkitab ditulis oleh banyak
tangan. Nabi ini, nabi itu, orang suci ini, orang suci itu. Tuhan Yesus sendiri
tidak menulisi Alkitab. Seiring umurnya bertambah, si anak perempuan semakin
gamang dengan spiritualitasnya. Dia mendapati bahwa ternyata ada kitab-kitab lain yang entah apa alasannya sekarang tidak dimasukkan di Alkitabnya. Ditemukan Injil Yudas,
Injil Maria Magdalena, dan lain-lain. Siapa tahu, Alkitab sudah mengalami
penyeleksian, pengurangan, penambahan, perubahan seiring zaman berkembang. Versi Alkitab pun macam-macam. Nah, siapa yang memutuskan
semua itu? Si anak perempuan tidak tahu. Apakah Vatikan? Apakah petinggi-petinggi
gereja di Barat sana? Dari sejarah, dia tahu gereja tidak selalu benar. Setiap
mengingat Galileo dan Joan d’Arc, si perempuan sakit hati akan tindakan gereja
masa itu. Jadi, untuk beracuan pada Alkitab yang mereka susun pun, si anak
perempuan merasa ragu.
Tidak, dia tidak ragu
akan Tuhan-nya. Dia ragu akan manusia-manusia yang menyusun kitab sucinya.
Namun dia tidak berani berargumen dengan siapa pun mengenai ini. Dia tahu ilmu
agamanya masih sama dengan nol. Sekarang dia cuma berpegang pada hukum utama dari
Yesus Kristus. Karena Yesus menyebutnya sebagai yang utama dari ajaran-Nya, si
anak perempuan merasa untuk saat ini cukup lah itu dulu yang dia ikuti. Hukum
yang utama dan terutama dari ajaran Kristus adalah untuk saling mengasihi.
Hukum Kasih. Mengasihi Allah dengan segenap hati dan mengasihi sesama seperti
mengasihi diri sendiri. Si anak perempuan merasa perintah untuk mengasihi itu
sangat baik dan sesuai dengan nuraninya. Dia tidak merasa ada yang salah dengan
itu, jadi dia menerimanya sebagai hukum yang utama dari kekristenan.
Si anak perempuan juga
melihat bahwa kasih itu disalurkan dengan melakukan kebaikan. Dia setuju dengan
ucapan Dalai Lama yang mengatakan dengan bijaksananya, “My religion is
kindness.” Pertama kali mengetahui tentang ucapan Dalai Lama itu, bisa dibilang
si anak perempuan heran bukan main. Bahkan tokoh besar agama Buddha tidak serta
merta mengatakan agama Buddha sebagai agamanya! Agamanya adalah Kebaikan.
Kasih! Si anak perempuan kemudian merasa bahwa kasih adalah bahasa universal.
Tidak butuh agama yang mengkotak-kotakkan manusia.
Sampai sekarang si anak
perempuan masih berniat menamatkan Alkitabnya. Ingin membacanya dari awal
hingga akhir, baru berbicara. Mungkin jika tiba saatnya, dia pun bisa
memutuskan sikapnya atas agama.
__________
Artikel ini ada untuk meramaikan proyek Irwan Bajang, #5BukuDalamHidupku. Ini adalah buku terakhir dari saya. Sebelumnya ada Hiroshima-nya John Hersey, The Secret-nya Rhonda Byrne, Abarat-nya Clive Barker, dan Kungfu Boy-nya Takeshi Maekawa. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung siapa pun. Tapi kalaupun memang ada yang merasa tersinggung, saya minta maaf sedalam-dalamnya. Salam Damai!
No comments:
Post a Comment
Hi! Thanks for stopping by. I ALWAYS love book talks! So, do leave your comment about this post, it's free ;)