Zusak, Markus. 2012. The Book Thief. London: Definitions.
Rating 5 bintang
“Hard times were coming. Like a parade.”
Saya, terus terang saja, bukan orang yang pengetahuan sejarahnya kuat. Baik sejarah nasional maupun internasional. Makanya, saya cenderung menghindari novel-novel dengan genre fiksi-sejarah (historical-fiction). Takutnya pemahaman sejarah saya (yang miskin itu) jadi campur aduk dengan fiksi di novel tersebut. Karena saya enggak yakin akan bisa membedakan mana yang fiktif, mana yang fakta sejarah. Nah, dengan kewaswasan itulah saya memulai The Book Thief-nya Markus Zusak yang masyhur ini.
Yah, sebenarnya sih saya awalnya enggak tahu kalau ini novel fiksi-sejarah. Bagian belakang buku ini enggak membeberkan apapun (sudah seharusnya begitu). Dan saya juga sengaja enggak nonton filmnya dulu sebelum saya baca bukunya. Saya tahu ini fiksi-sejarah setelah baca beberapa halaman pertama. Ternyata ini fiksi dengan latar belakang Nazi Jerman di bawah otoritas Hitler. Ih, kedengarannya membosankan.
Versi Bahasa Inggris yang saya baca terdiri dari 584 halaman. Dan setiap lembarnya menakjubkan. Saya enggak bermaksud memuji berlebih-lebihan. Tapi, saya rasa saya belum pernah membaca buku yang lebih cerdas dan lebih indah dari The Book Thief. Benar-benar suatu pengalaman membaca yang memuaskan!
Hal yang paling saya apresiasi dari buku ini adalah cara Zusak menulis dan menyampaikan ceritanya. Bagi kamu yang lagi membaca tulisan ini dan berharap saya membahas The Book Thief dari segi ceritanya… maaf. Silakan cari di tempat lain. Saya ingin fokus mengelu-elukan cara menulis si penulis.
“But then, is there cowardice in the acknowledgement of fear? Is there cowardice in being glad that you lived?”
Menarik. Beda. Berani. Pintar. Itu beberapa kata sifat yang saya rasa pantas untuk mendeskripsikan cara menulis Zusak di The Book Thief.
Pertama, narator keseluruhan novel ini adalah Death alias Dewa Kematian. Saya enggak tahu apakah versi Bahasa Indonesia-nya memang diterjemahkan jadi Dewa Kematian atau enggak. Tapi itulah itu. Jadi, dari sudut pandang yang dipakai saja sudah sangat menantang. Death punya cara pandangnya sendiri. Bagaimana pandangannya terhadap kematian, perilaku manusia, pekerjaannya sebagai pencabut nyawa, dan lainnya. Pemakaian alur waktu yang maju-mundur memang kadang membingungkan, tapi masih bisa diikuti. Malah di tengah-tengah cerita, Death membeberkan hal yang akan terjadi di bab akhir. Intinya dia bilang supaya kita yang membaca enggak kaget, dan sebagai persiapan juga buat dia untuk menceritakannya nanti.
Cara Zusak yang tidak malu-malu menjadi kreatif dalam menuliskan buku ini pun brilian sekali. Dialog atau penjelasan yang penting menjadi dramatis karena ditulis sebagai alinea sendiri, dijuduli, dibold, dan ditaruh di tengah. Lalu ada ilustrasi sederhana lengkap dengan cerita yang ditulis tangan. Juga pemakaian ilustrasi dadu sebagai subjudul di salah satu bab. Ah, keren banget, asli. Zusak menunjukkan bahwa tidak ada batasan bagi penulis dalam menyampaikan cerita.
Saya bukan tipe pembaca yang suka dengan novel penuh personifikasi dan kalimat berbunga-bunga. Biasanya saya enggak tahan dan langsung jengkel begitu membaca novel begitu. Hal itu beberapa kali muncul di The Book Thief, tapi saya sama sekali tidak terganggu. Malah beberapa kali saya sampai berhenti membaca sebentar dan bengong, mengagumi pemakaian majas personifikasi tersebut. Zusak tidak berlebihan memakainya, itu kuncinya saya rasa. Dia memakainya sekali-sekali dan penempatannya pas sekali. Para personifikasi tersebut bukan cuma untuk memperindah kalimatnya, tapi menekankan lagi emosi yang sedang dihantarkan ceritanya. Oke, oke, saya tahu ini kesannya detail banget. Beginian aja dibahas. Tapi beneran, saya merasa Zusak cerdas sekali memainkan dan merangkai kata demi kata di The Book Thief.
“Imagine smiling after a slap in the face. Then think of doing it twenty-four hours a day. That was the business of hiding a Jew.”
Dari segi ceritanya sendiri, ini bukan cerita happy-go-lucky dengan ujung yang happy-ending. Saat Hitler berkuasa di Jerman, itu adalah ketika mimpi buruk bukan saat kau tertidur, tapi saat kau terbangun. Jadi, mungkin ini bukan jenis cerita yang bisa dengan mudah dinikmati, tapi jelas, perlu. Buku ini kembali membuka mata kita terhadap perang, genosida, kediktatoran, rasisme, dan diskriminasi, serta bagaimana seharusnya kita menyikapi semua itu.
Bagi saya ini bukan jenis novel yang mungkin akan saya baca lagi dan lagi nantinya. Tapi pengalaman membaca novel ini sungguh tiada duanya. Siapapun yang menyenangi sastra, The Book Thief bisa jadi santapan wajib.
No comments:
Post a Comment
Hi! Thanks for stopping by. I ALWAYS love book talks! So, do leave your comment about this post, it's free ;)