Rahardjo, Yonathan. 2011. Taman Api. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Rating 2,5 bintang
(review in English, click here)
(review in English, click here)
Terima kasih kepada Pustaka Alvabet yang telah memberikan saya buku ini sebagai ganti ulasan yang jujur.
Orang yang mengajak kenalan lewat sms biasanya tidak saya waro (Sunda: pedulikan, memberi perhatian).
Tapi, karena beberapa hari yang lalu saya masih sedang membaca novel ini, saya jadi iseng.
Dia: Mlem.. ?Saya: ya?D: Blh knln nich.?S: ini siapa?D: Sya deni,lw situ cpa namanya..S: kalo malem namaku bintang kejora, kalo siang jadi abdullah.D: Ouh gitu,kalo pg,S: kalo pagi panggil apa aja boleh. kamu waria juga? dapet nomor aku drmana? pasti dari si flora yah.D: Astagfiruloh mit amit dech..S: kenapa den?D: Gk...S: dapet nomorku drmana den? kamu mau pesen servis?
Kita hidup di dunia di mana menyukai lawan jenis adalah normal. Jadi, umumnya manusia-manusia penyuka sesama jenis dianggap tidak normal. ‘Normal’ adalah sesuatu yang sesuai dengan keadaan yang biasa. Penyuka sesama jenis memang tidak normal karena mereka tidak sesuai dengan keadaan yang biasa. Tapi, bagaimana kalau keadaan normal itu kita andai-andaikan saja terbalik. Misalnya kita hidup di dunia di mana yang normal itu adalah menyukai sesama jenis, dan mereka yang penyuka lawan jenis dipaksa ‘tobat’ dan harus menyukai sesama jenis. Bagaimana? Rasanya geuleuh (Sunda: jijik, geli) kan? Mungkin itu juga yang dirasakan dia-dia yang penyuka sesama jenis. Apalagi bagi mereka yang menempuh jalur lebih ‘berani’ dengan menjadi wanita tapi pria alias waria.
“Mereka tahu betul, orang-orang yang mengejar untuk menangkap mereka jugalah yang suka melirik, menggoda dan menikmati pelayanan mereka, pelayanan para waria.”
Taman Api mengangkat ide cerita yang langka dalam pernovelan Indonesia. Novel ini bercerita tentang kehidupan waria, mereka yang transgender dan transseksual. Waria di Indonesia tidak (belum?) seperti waria di Thailand. Mereka tidak punya tempat di masyarakat dan tidak dijadikan sumber devisa negara. Apa yang terjadi dengan waria di Indonesia? Taman Api mungkin bisa memberikan sedikit gambaran, walaupun novel ini tidak menceritakan kisah waria di negeri Indonesia melainkan di negeri bernama Tanah Air.
“Mereka terus mengejar manusia berbusana wanita yang cuma bersenjata bedak dan gincu.”
Agak susah mencerna novel ini karena penokohan yang tidak kuat, alur cerita yang agak kabur, kalimat-kalimat panjang berbelit dengan penggunaan majas hiperbola dan personifikasi yang banyak. Namun kalau bisa tak mengindahkan hal-hal tersebut, pembaca bisa menikmati Taman Api dan tenggelam dalam kegetirannya. Yonathan Rahardjo jelas-jelas melakukan riset mendalam sebelum menuliskan novel ini. Sebagai dokter hewan, Yonathan berhasil mengangkat isu yang jauh dari dunia profesinya. Di Taman Api pembaca disuguhkan informasi tentang HIV/AIDS, suntik silikon, prosedur medis bedah kelamin, dan lainnya. Yonathan juga dengan ajaib memaparkan imajinasinya tentang chip yang ditanamkan pada setiap waria sebagai alat lacak dan pantau tingkat keterjangkitan HIV/AIDS. Tapi yang menjadi titik nadir novel ini adalah elaborasi konflik batin tokoh-tokohnya, terutama Tari dan Priyatna.
“Yang harus mendapat perhatian lebih mestinya kasus suntik silikon ilegal ini. Untuk penanganan AIDS mestinya kita rangkul dan gandeng tangan saudara-saudara kita ini dan semua masyarakat karena penyebarannya tak sebatas lewat keberadaan waria.”
Tari adalah waria selebriti yang cerdas dan berani. Dia ingin sekali menjadi wanita seutuhnya sehingga memutuskan untuk operasi kelamin. Membuang penisnya dan digantikan dengan vagina buatan para dokter bedah kelamin. Sedangkan Priyatna adalah laki-laki pekerja biasa yang merasakan rangsangan seksual saat melihat apalagi memakai pakaian wanita. Priyatna pun menjajal dirinya dengan menjadi Yanti pada malam hari. Konflik! Konflik! Konflik! Bukan saja dari dalam diri Tari dan Priyatna, namun juga konflik eksternal seperti dari masyarakat, media, polisi, dan kelompok agama, yang abai, lalai, dan anarkis.
“Tugas polisi seolah-olah hanya memasang garis pengaman.”
Bagaimana pun, Taman Api adalah hasil karya fiksi dan apa-apa yang disampaikan di dalamnya perlulah disikapi dengan bijaksana. Tapi, baik sekali bila semakin banyak orang yang membaca buku ini, supaya lebih banyak orang yang introspeksi diri seperti saya. Tempat saya ber-SMA berseberangan dengan Taman Lalu Lintas (atau juga disebut Taman Ade Irma Suryani Nasution) yang kalau malam banyak waria menjajakan jasanya di sekitaran taman tersebut. Beberapa kali saya pulang malam dan harus melewati mereka-mereka yang berdandan menor, saya takut sekali dan mendingan jalan memutar yang jauh kalau saya lagi sendirian.
Kenapa saya takut? Karena mereka tidak normal dan saya pikir mereka bakal menjahati orang normal yang dekat-dekat dengan mereka. Seiring bertambahnya usia saya, saya sadar bahwa mereka sama normalnya dengan saya dan hanyalah manusia biasa yang juga punya perasaan, jadi saya tidak lagi takut banci. Namun, setelah membaca Taman Api, saya ingin sekali punya teman yang waria. Saya doakan bagi Anda-Anda yang waria supaya mempunyai hidup yang bebas dan bahagia. Tetap kuat, Kawan! Salam.
“Harga kesehatan mahal, tapi jauh lebih mahal harga hak asasi manusia sebab ini karya Tuhan.”
No comments:
Post a Comment
Hi! Thanks for stopping by. I ALWAYS love book talks! So, do leave your comment about this post, it's free ;)