Edisi Gold memperbarui terbitan 2005. |
Gaarder,
Jostein. 2011. Gadis Jeruk. Jakarta:
Penerbit Mizan.
Kenapa saya baca buku ini?
Saya mau
baca buku ini karena saya BELUM bisa menyelesaikan satu karya Gaarder yang
termasyhur, yaitu Dunia Sophie. Iya saya tahu itu buku bagus, tapi enggak tahu
kenapa saya macet di tengah (bahkan belum sampai di tengah) dan menurut saya
itu jenis buku yang enggak bisa ditunda-tunda. Harus sebisa mungkin sekali baca
selesai. Mungkin waktu itu belum waktu saya untuk membaca Dunia Sophie. Jadi,
waktu tahun lalu saya lihat Gadis Jeruk terpampang manis di rak toko buku,
tanpa pikir panjang saya langsung beli, bahkan saya enggak baca lagi ulasan di
sampul belakangnya. Satu, karena saya masih belum mau menyerah dengan Gaarder.
Soalnya sama seperti pembaca umumnya, saya tipe yang sering pilih buku dari
penulisnya. Misalnya saya suka Inferno (SAYA BELUM PUNYA TAPI MAU BANGET!!!),
maka saya akan otomatis menganggap karya Dan Brown yang lain juga mantap.
Kayaknya inilah beban moral penulis yang paling berat yah? Untuk mempertahankan
standard kualitas karyanya. Dua, karena bukunya JAUH lebih tipis daripada Dunia
Sophie. Saya sudah mengira Gadis Jeruk akan bicara tentang filsafat juga, dan
saya pikir kalau cuma dua ratusan halaman sih dipaksakan pasti bisa lah selesai.
Ternyata saya enggak perlu terlalu memaksakan diri.
Ulasannya.
“Aku bisa
menunggu hingga hatiku berdarah lantaran duka.”
Mungkin
orang banyak menganggap Gadis Jeruk sebagai novel filsafat, memang iya sih,
tapi entah kenapa otak saya lebih tertarik pada konsep mencinta yang dituturkan
di dalam novel ini. Apakah saya memang anak perempuan yang keperempuanan
sekali? Saya enggak pernah pikir begitu. Tak bisa disangkal, unsur filsafat
sangat kuat di dalam Gadis Jeruk. Tapiii, saya enggak bisa enggak menyebutkan
betapa saya sangat terpesona pada kemampuan anak manusia dalam mencinta seperti
dalam novel ini. Saya hampir yakin hal seluarbiasa itu tidak eksis di
dunia-bukan-buku ini.
“Waktu,
Georg, apakah waktu itu?”
Georg, anak laki-laki
berumur 15 tahun, tiba-tiba dihadapkan pada surat panjang yang ditulis ayahnya
sebelum meninggal sebelas tahun yang lalu. Dari sini saja harusnya kita sudah
tidak punya alasan lagi kan untuk tidak membaca buku ini? Plotnya keren!
“Dia menulis surat
untuk masa depan.”
Surat
tersebut bercerita tentang ayah Georg yang pada masa mudanya bertemu seorang
gadis yang dijulukinya Gadis Jeruk. Ceritanya SANGAT detail. Alurnya sebenarnya
cepat tapi justru detail-detail tadi yang kadang membuat saya enggak sabaran.
Karena ayah Georg menawarkan banyak teka-teki di suratnya, dan saya
terus-terusan berpikir, “Apa? Siapa? Kenapa? KASIH TAHUUU!!!” sambil mata saya
secepat mungkin melahap semua kata di setiap halamannya.
“Kadang-kadang
aku berharap hidup sebelum penemuan tabel perkalian, dan tentu saja sebelum
fisika modern dan kimia, sebelum kita pikir kita tahu segala sesuatu. Maksudnya
hidup dalam DUNIA YANG BENAR-BENAR AJAIB!”
Membaca
Gadis Jeruk, saya terpana pada cara ayah Georg mengejar cintanya, cara dia berpikir,
dan cara dia melihat dunia. Saya jadi mendamba dicintai sedalam itu, setulus
itu. Reaksi-reaksinya saat bertemu si Gadis Jeruk bikin saya merinding! Bahkan
begitu terpikatnya saya, saya lupa kalau dia sudah mati, jelas disebutkan di
kalimat pertama buku ini. Itu bikin saya sangat sedih. Karakter yang semakin
kita kenal seiring membaca buku ini, ternyata sudah mati dari awal.
“Sekarang,
kami tidak bisa lagi saling menaruh harapan, kami tidak bisa berbagi harapan
bagi waktu yang terbentang di hadapan kami.”
Menariknya,
buku ini terdiri dari dua sudut pandang sekaligus, Georg dan ayahnya. Namun
karakter utama saya rasa ada pada ayah Georg. Iya, saya tahu siapa nama ayah
Georg, dan iya saya sengaja enggak sebutkan karena alasan yang akan saya bilang di
paragraf setelah ini. Namun, harus saya akui, jawaban dari teka-tekinya sudah
bisa ditebak di tengah-tengah cerita. Tapi tentu kita tidak akan yakin sampai
jawabannya terpampang di depan mata kita. Jadi, walaupun saya sudah bisa
menebak jawaban-jawabannya, saya tetap membaca sampai akhir tentang perjalanan
ayah Georg yang digambarkan dengan kesan magis. Menarik. Gadis Jeruk membuat
kita berpikir, merenung tentang kehidupan.
“Sekadar
memikirkan keberadaan ruang angkasa saja sudah membuat pikiran takjub. Tapi ada
anak-anak perempuan yang tidak bisa melihat alam semesta lantaran eyeliner. Dan
barangkali ada anak-anak laki yang matanya tak pernah melebihi cakrawala
lantaran sepak bola.”
Saya tidak
akan membahas tentang isinya lebih daripada yang sudah saya sebutkan (sedikit
sekali, iya tahu, bahkan kalian bisa dapat lebih banyak informasi hanya dari
sampul belakang buku ini). Bukan enggak mau, tapi saya enggak bisa tanpa harus
membeberkan poin-poin penting yang saya rasa lebih baik Anda ketahui seiring
membaca buku ini. Saya INTOLERAN pada orang yang membocorkan cerita dari buku
yang belum saya baca, apalagi kalau ternyata yang dibilangnya poin yang
signifikan, pergi sana husss! Jadi, saya juga sebisa mungkin menghindari yang
begitu. Yang susahnya, seperti saya bilang sebelumnya, buku ini penuh
teka-teki! Kalau saya asal mengungkapkan sesuatu, yang ternyata penting, Anda
mungkin jadi kurang bisa menikmati buku bagus ini.
“Lihatlah
dunia ini, Georg, lihat dunia ini ketika engkau belum menjejali dirimu dengan
terlalu banyak fisika dan kimia.”
Kutipan lainnya.
“... tidak selalu mudah untuk menemukan apa
yang mesti dikatakan kepada seorang gadis yang—kata orang—‘kau sukai
tampangnya’.”
“Aku sebeku es, aku terbakar api.”
“Jika ada
satu keahlian yang sama-sama kami miliki, itu adalah saling berjumpa secara
kebetulan.”
No comments:
Post a Comment
Hi! Thanks for stopping by. I ALWAYS love book talks! So, do leave your comment about this post, it's free ;)