Brown, Dan. 2013. Inferno. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Terasa enggak sih aura 'keren' dari buku ini? Hahaha. |
Kenapa saya baca buku ini?
Bahahahahhaahahha. Sebenarnya
ini pertanyaan konyol. Jadi mari tidak berlama-lama di bagian ini. Saya baca
buku ini karena saya memang terobsesi dengan semua karya Dan Brown sejak awal.
Penikmat kegiatan baca, pengapresiasi seni, penggemar tokoh cerita cerdas baik
hati, dan orang yang penasaran akan ilmu pengetahuan dan ilmu agama, PASTI
sedikitnya memuntahkan pelangi atas karya-karya Dan Brown, termasuk karya
teranyarnya yang satu ini. Bagaimana tidak? Inilah buku yang bisa membuat saya
mencapai orgasme, persis seperti anak culun garis keras ketika dihadapkan dengan buku
yang terlalu menakjubkan. Rasanya otak meledak saking kagumnya. Jadi, kenapa
baca buku ini? Pfft. Itu bahkan bukan pertanyaan relevan kalau Inferno yang
kita bicarakan.
Celotehannya.
“Tempat tergelap di neraka
dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat krisis moral.”
Saya benar-benar akan
berusaha menahan kehisterisan saya yang rasanya bisa muncrat kapan saja melalui
tulisan ini. Tapi, saya cuma lah manusia penuh kelemahan, jadi saya mesti
bilang, EDAAAAAAAN KEREEEEEEEN MAMPUSSSSSSS! Sejujurnya, hampir tidak ada yang
bisa saya sampaikan mengenai isi bukunya karena kalian benar-benar akan
menyesal kalau mengetahui APAPUN sebelum membaca Inferno. Serius. Tapi, masak
kan saya enggak cerita apa-apa? Jadi, bagi yang tidak mau punya gambaran apa-apa
tentang buku ini, sila loncat ke paragraf empat. Bagi yang butuh persuasi lebih
untuk membaca buku ini dan merasa oke-oke saja untuk tahu sedikit ceritanya,
sila lanjutkan membaca. Uhm, saya tetap enggak akan bilang poin-poin signifikan
yah.
“Keputusan masa lalu kita adalah arsitek masa kini kita.”
Di Inferno, Langdon
berada di kota eksotis Florence, Italia, tanpa ingatannya. Yap! Jadi
petualangan Langdon akan penuh kebingungan, kebohongan, dan tentu saja
ketegangan. Topik utama karya Brown kali ini berpusat pada karya seni penyair
Italia ternama, Dante Alighieri, yang gambar mukanya bisa dilihat di sampul
buku ini. Karya tersebut, puisi panjang berjudul The Divine Comedy, mengacu
pada pengalaman spiritual Dante Alighieri yang melewati neraka (inferno),
penebusan (purgatorio), dan surga (paradiso). Puisi kuno ini ternyata mempunyai
efek tak terkendali setelah berabad-abad penerbitannya.
“Di bawah tekanan overpopulasi, mereka yang tidak pernah berpikir untuk mencuri, akan menjadi pencuri untuk memberi makan keluarga mereka. Mereka yang tidak pernah berpikir untuk membunuh, akan menjadi pembunuh untuk mempertahankan anak-anak mereka.”
Membaca Inferno
mencuatkan kesadaran saya akan tema overpopulasi penduduk dunia. Saya terkejut
betapa riilnya sebenarnya konflik dalam buku Inferno ini. Kita, sekarang,
sedang menghadapi masalah ini! Overpopulasi. Dan, penelusuran mendalam akan
gambaran neraka Dante Alighieri, cukup membuat saya bergidik ketakutan sedikit.
Apakah manusia akan benar-benar musnah dengan kebrutalan seperti yang
ditunjukkan karya-karya Dante? Pesan moral yang jelas setelah baca buku ini:
Tolong jangan bikin bayi sembarangan!
“Seseorang harus melakukan tindakan yang berani, kata lelaki itu. Mata hijaunya berkilat-kilat, Jika bukan kita, siapa? Jika bukan sekarang, kapan?”
Inferno adalah buku
keempat dari seri Robert Langdon, yang sudah kita kenal sepak terjangnya sejak
Angels & Demons, The Da Vinci Code, dan The Lost Symbol. Enggak perlu baca
yang sebelum-sebelumnya untuk bisa mengerti Inferno. Sebenarnya, saya enggak
kaget lagi dengan kejeniusan Brown mengeksekusi ide ceritanya. Saya sudah tahu
saya akan begini, tercengang total dengan semua kerumitan yang simpel khas
Brown. Brown selalu memakai sudut pandang Tuhan dan menggunakan alur cerita
bolak-balik. Untuk seri Robert Langdon ini pun, dia konsisten dengan cerita
khas James Bond, dan pembaca yang mengharapkan Brown akan melakukan lebih
agaknya berkhayal terlalu jauh. Kemiripannya ada pada wanita yang silih
berganti di setiap buku, dan bertahan dengan petualangan khas yang berulang.
Bond khas dengan peralatan super canggihnya. Langdon khas dengan pengetahuan
seni dan simbolnya.
“Inilah kota tempat Michaelangelo bermain di jalan-jalannya semasa kecil, dan yang studio-studionya menyulut kebangkitan Renaisans Italia. Inilah Florence....”
Robert Langdon, si
profesor Harvard dan simbolog Amerika terkenal, tidak membuat saya jengah
dengan kekagumannya terhadap karya-karya seni, yang dijelaskan dengan sangat
detail dalam Inferno. Banyak elaborasi tentang karya-karya seni yang sepertinya
tiada habis, dan saya ikut mengagumi karya-karya seni tersebut melalui mata
Langdon. Setting cerita yang bermula di Florence dan berlanjut ke tempat-tempat
tak kalah eksotis lainnya, juga menyertakan deskripsi yang sangat mewah dan
saya senang bisa menikmatinya.
“Langdon berharap seandinya matanya masih setajam Sienna. Usia memang kejam.”
Saya merasa Inferno
adalah puncak karya Brown. Dengan intrik yang jauh lebih kompleks dan twist yang berhamburan dimana-mana
membuat saya kewalahan sendiri dengan semangat saya yang membuncah-buncah tak
terkendali selama membaca buku ini. Buku setebal 600-an halaman ini cuma
bercerita tentang SATU HARI, percaya enggak percaya. Dan membaca kata yang
mengakhiri buku ini, saya tahu saya sudah membaca karya yang benar-benar
brilian! Sampai kata terakhir pun, pembaca masih dimanjakan dengan twist (itu pun kalau bisa menyadari,
tapi jelas banget kok, pasti tahu lah). Mahakarya total.
“Pertarungan abadi antara otak dan hati, yang sering kali menginginkan hal yang berlawanan.”
Saya sudah berusaha
selambat mungkin menyelesaikan buku ini, yaaa supaya senangnya bisa lebih lama,
tapi ternyata tiga hari ludes juga. Enggak kuat. Penasaran sama petualangan
Langdon. Terakhir, merasa banget harus berterima kasih ke Penerbit Bentang
karena sudah menerbitkan Inferno versi Bahasa Indonesia dengan luar biasa
cepat! Asli, saya pikir saya harus menunggu lama lagi (teringat masa-masa
penantian seri Harry Potter oleh penerbit tetangga). Soalnya, terbayang kalau
baca buku Dan Brown bukan dalam bahasa ibu saya, saya pasti cuma melongo saja.
Gara-gara buku-buku Dan Brown diterbitkan oleh Penerbit Bentang sejak awal,
sejak itu pula saya lebih percaya dengan kualitas buku-buku terbitan Penerbit
Bentang. Jadi, peluk cium buat teman-teman Penerbit Bentang!
Kutipan lainnya.
“Menurut kajian itu,
mayoritas mahasiswa universitas setelah mengeklik sebuah artikel yang membuat
stres, misal mengenai mencairnya es kutub atau kepunahan spesies, akan
buru-buru keluar dari laman itu demi mencari hal remeh untuk menghapus
ketakutan dari pikiran mereka; pilihan favorit antara lain berita olahraga,
video kucing lucu, dan gosip selebriti.”
“Aku
harus berhenti menjadi maniak fanatik buku bersampul kulit, dia
mengingatkan diri sendiri. E-book memang
punya momen sendiri.”
“Saking cepatnya kemajuan
sains, tidak ada lagi yang tahu batas-batasnya.”
_________
Reaksi saya jika berhadapan dengan orang yang katanya tidak menyukai Inferno sedikit pun...
aku belum minat baca buku ini, nonton filmnya aja deh, btw gambarnya lucu :))
ReplyDeleteiya nonton filmnya aja juga gapapa sih. tapi, sulis, always remember this, don't judge a book by its movie. hahha :D
DeleteSepertinya inferno bagus ya klo dari reviewnya haha jadi penasaran ngelanjutin dan brown lagi cuma agak kecewa sama the lost symbol yg menurut aku plot ceritanya mirip bgt sama buku sebelumnya. Tapi tetap selalu terkagum2 sama pengetahuan danbrown yg amazing dan detail
ReplyDeleteAku emang ngefans banget sih sama Dan Brown, jadi mungkin (pasti) ulasan di atas itu super-bias. Hahaha.
DeleteHaaaa? Buku yang tebanya kurang ajar itu cuma cerita sehari?
ReplyDeleteTapi buku segede gitu masih belum sempat baca de kayaknya hiks hiks
The losy symbol aja belum baca :(
Iya cuma sehari, makanya bacanya jadi tegang dan deg2an banget. Hahah.
DeleteWaah kalo aku sih semakin tebel semakin bagus (kalo bukunya emang oke yah).
sudah adakah ebook b.indo nya??
ReplyDelete