Wednesday, September 11, 2013

Satin Merah – Brahmanto Anindito & Rie Yanti



Anindito,Brahmanto dan Rie Yanti. 2010. Satin Merah. Jakarta: GagasMedia.
Rating 3,5 bintang
(review in English, click here)

Sampul novel Satin Merah yang sesuai dengan mood cerita.
Kenapa saya baca buku ini?
Jujur? Beberapa hari yang lalu saya ke toko buku yang lagi merayakan hari jadinya ke-4 dan mereka buat diskon besar untuk banyak banget buku. Kebanyakan buku yang enggak menarik minat saya. Kemudian tertangkap mata saya, Satin Merah. Yang paling wow-nya waktu lihat harganya Rp 10.000 SAJA (tanpa bermaksud sok kaya). Harga aslinya Rp 37.000. Satin Merah sudah sejak tahun lalu ada di daftar saya, daftar ingin-beli-tapi-pas-duit-lebih-saja. Dari awal tertarik untuk punya dan baca setelah lihat ulasan di sampul belakangnya. Tapi, hanya satu kalimat yang benar-benar bikin saya penasaran sekali, yaitu “Tema yang nyaris tak tersentuh oleh penulis zaman sekarang.” Itu ulasan pendukung untuk Satin Merah dari sesama novelis Indonesia, Feby Indirani. Saya belum pernah baca novel Feby, jadi enggak tahu apakah pendapatnya bisa jadi pegangan, tapi siapapun yang bilang enggak jadi masalah buat saya. Saya sudah terlanjur tertantang, “Ah, masa sebegitunya?”

Ulasannya.
“Kenapa harus dengan pembunuhan?”
Nindhita Irani Nadyasari, panggilannya Nadya, tokoh utama Satin Merah yang... punya masalah psikologis? Saya kurang merasa tepat kalau menyebutnya bipolar, atau psikopat sekalipun pun. Pokoknya itulah, mentalnya enggak stabil. Dan setelah selesai baca buku ini pun, saya tetap enggak simpatik terhadap karakter ini. Apakah penulis memang sengaja mengarahkan pembaca untuk enggak menyukai si Nadya? Saya enggak tahu, kan bukan saya penulisnya (hahaha). Satin Merah ditulis oleh dua penulis yang belum pernah saling ketemu muka selama proses peneluran buku ini (sekarang sih mereka sudah jadi suami-istri, lihat blog mereka di sini).
“Saya cuma ingin jadi bunga lotus yang selalu bisa tampil indah tak peduli seberapa buruk keadaan air di sekitarnya.”
Buku ini sendiri, menurut saya, pantas kalau dibilang punya plot yang unik, ide yang orisinil, dan sangat informatif. Saya senang enggak kepalang bisa dapat buku bagus harga murah begini (horeee). Saya jarang baca buku penulis Indonesia (saya enggak maksud loh, cuma kebanyakan memang enggak menarik minat saya), tapi menurut saya Satin Merah harusnya bisa lebih populer dari kebanyakan novel Indonesia lain yang terbit tiga tahun belakangan ini. Ini novel terbit tahun 2010, dan saya merasa enggak pernah tahu tentang Satin Merah sebelumnya, sama sekali. Oke, mungkin sayanya yang kurang gaul...
“Membanting tulang sampai remuk pun dia rela demi sebuah pengakuan bahwa dirinya signifikan.”
Jadi kenapa 3,5 bintang? Yaaa, ada beberapa alasan sih. Satu, karena saya enggak bisa merasa simpatik dengan si karakter utama. Sampai akhir pun, sampai resolusi cerita, tetap saya merasa sebal. Ini personal banget, jadi mungkin enggak berlaku buat pembaca lainnya. Lagian saya jenis pembaca yang kalau baca buku sering membayangkan saya sebagai karakter utama (ini enggak aneh kan?), jadi waktu ketemu karakter Nadya yang begitu, walaupun sudah dijelaskan latar belakang dan pemikirannya, saya enggak merasa itu semua cukup jadi alasan untuknya melakukan apa yang dia lakukan.
“Eneng boleh pilih: terima kritikan Bapak secara ksatria atau menangis meratapi bakat Eneng yang picisan.”
Terus saya juga merasa beberapa bagian dalam cerita ini dipaksakan, kurang penjelasan, dan kurang riil. Penjelasan frasa ‘satin merah’ itu sendiri, sangat menarik. Idenya bagus, untuk dijadikan judul sangat pas, tapi kalau dipakai sebagai yang dijelaskan di buku ini, terlalu mengada-ada. Terus ceritanya saya rasa agak terlalu melompat saat Nadya bersinggungan dengan geng motor. Benar-benar saya merasa bagian itu aneh dan dipaksakan. Terus lagi, kurang penjelasan saat pembunuhan sastrawan terakhir, siapa yang membajak Facebook si kawan, dan bagaimana cara menyembunyikan korban nomor dua itu? Ada beberapa kejanggalan lain, tapi kalau saya teruskan bisa jadi pembocoran cerita dan itu bakal mengganggu orang yang belum tapi niat baca buku ini.
“Ini bukan mimpi buruk. Ini kehidupan yang buruk.”
Tapi, buku ini begitu saya puji-puji di awal karena secara umum berhasil menghipnotis saya sebagai pembacanya. Seiring membaca Satin Merah, saya bisa merasakan suasana misterius dan tegangnya. Kekurangan-kekurangan yang saya sebut tadi bisa ditolerir karena Satin Merah dapat memenuhi kriteria buku bagus menurut saya, yaitu, emosinya sampai kepada pembaca. Anehnya, saya bisa benar-benar ‘merasakan’ buku Satin Merah tanpa saya merasakan simpati terhadap karakter utama. Makanya buku ini hebat.
“Dia melihat deskripsi vital sekali untuk menggambarkan bagaimana suasana tempat ketika cerita berlangsung, indahnya alam Pasundan, termasuk bahasa dan logat orang-orangnya. Coba kalau semua itu dikesampingkan, beberapa tahun ke depan orang pasti lupa bagaimana Bandung hari ini, kemarin, atau puluhan tahun yang lalu.”
Satin Merah juga sangat informatif, terlebih tentang Sastra Sunda, cara menulis, dan dunia blog. Saya jadi merasa tercerahkan tentang Sastra Sunda. Kedua penulis juga banyak menjelaskan tentang cara menulis, karena cerita Satin Merah adalah tentang si Nadya yang enggak bisa menulis sastra, tapi berambisi ingin jadi sastrawan. Jadi seiring kita membaca Satin Merah, kita juga jadi tahu apa saja yang dia pelajari supaya bisa menulis dengan baik. Dan penjelasan tentang blog serta trik-triknya benar-benar bikin saya merasa anak kemarin sore di blogosfer ini (yang memanglah iya).
“Kamu berdosa kalau berhenti menulis.”
Intinya, Satin Merah sangat menarik buat saya. Pembaca yang mau coba cerita yang tidak umum di dunia pernovelan Indonesia, ayo baca yang ini. Tidak terlalu kompleks dan bagus buat menambah pemahaman tentang Sastra Sunda.

Kutipan lainnya.
“Manuskrip-manuskrip kuno kita dibeli dari orang-orang Kalimantan dan Sumatra dengan harga 1-2 juta rupiah, pemerintah diam saja.”

“Tapi, kamu juga harus menghindari bergaul dengan orang-orang yang hobi berkata negatif. Termasuk mereka yang suka mengeluh, pesimis, menyumpah-nyumpah, berkata jorok, merendahkan. Hindari, atau hatimu akan jadi lebih mudah busuk.”
__________

Waktu saya sudah sampai halaman terakhir dan masih enggak suka dengan si tokoh utama...


No comments:

Post a Comment

Hi! Thanks for stopping by. I ALWAYS love book talks! So, do leave your comment about this post, it's free ;)



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...