Anindito,Brahmanto dan Rie Yanti. 2010. Satin
Merah. Jakarta: GagasMedia.
Sampul novel Satin Merah yang sesuai dengan mood cerita. |
Kenapa saya baca buku ini?
Jujur?
Beberapa hari yang lalu saya ke toko buku yang lagi merayakan hari jadinya ke-4
dan mereka buat diskon besar untuk banyak banget buku. Kebanyakan buku yang
enggak menarik minat saya. Kemudian tertangkap mata saya, Satin Merah. Yang
paling wow-nya waktu lihat harganya Rp 10.000 SAJA (tanpa bermaksud sok kaya).
Harga aslinya Rp 37.000. Satin Merah sudah sejak tahun lalu ada di daftar saya,
daftar ingin-beli-tapi-pas-duit-lebih-saja. Dari awal tertarik untuk punya dan
baca setelah lihat ulasan di sampul belakangnya. Tapi, hanya satu kalimat yang
benar-benar bikin saya penasaran sekali, yaitu “Tema yang nyaris tak tersentuh
oleh penulis zaman sekarang.” Itu ulasan pendukung untuk Satin Merah dari
sesama novelis Indonesia, Feby Indirani. Saya belum pernah baca novel Feby,
jadi enggak tahu apakah pendapatnya bisa jadi pegangan, tapi siapapun yang
bilang enggak jadi masalah buat saya. Saya sudah terlanjur tertantang, “Ah,
masa sebegitunya?”
Ulasannya.
“Kenapa harus
dengan pembunuhan?”
Nindhita
Irani Nadyasari, panggilannya Nadya, tokoh utama Satin Merah yang... punya
masalah psikologis? Saya kurang merasa tepat kalau menyebutnya bipolar, atau
psikopat sekalipun pun. Pokoknya itulah, mentalnya enggak stabil. Dan setelah
selesai baca buku ini pun, saya tetap enggak simpatik terhadap karakter ini. Apakah
penulis memang sengaja mengarahkan pembaca untuk enggak menyukai si Nadya? Saya
enggak tahu, kan bukan saya penulisnya (hahaha). Satin Merah ditulis oleh dua
penulis yang belum pernah saling ketemu muka selama proses peneluran buku ini
(sekarang sih mereka sudah jadi suami-istri, lihat blog mereka di sini).
“Saya cuma ingin
jadi bunga lotus yang selalu bisa tampil indah tak peduli seberapa buruk
keadaan air di sekitarnya.”
Buku ini
sendiri, menurut saya, pantas kalau dibilang punya plot yang unik, ide yang
orisinil, dan sangat informatif. Saya senang enggak kepalang bisa dapat buku
bagus harga murah begini (horeee). Saya jarang baca buku penulis Indonesia
(saya enggak maksud loh, cuma kebanyakan memang enggak menarik minat saya),
tapi menurut saya Satin Merah harusnya bisa lebih populer dari kebanyakan novel
Indonesia lain yang terbit tiga tahun belakangan ini. Ini novel terbit tahun
2010, dan saya merasa enggak pernah tahu tentang Satin Merah sebelumnya, sama
sekali. Oke, mungkin sayanya yang kurang gaul...
“Membanting
tulang sampai remuk pun dia rela demi sebuah pengakuan bahwa dirinya
signifikan.”
Jadi kenapa
3,5 bintang? Yaaa, ada beberapa alasan sih. Satu, karena saya enggak bisa
merasa simpatik dengan si karakter utama. Sampai akhir pun, sampai resolusi
cerita, tetap saya merasa sebal. Ini personal banget, jadi mungkin enggak
berlaku buat pembaca lainnya. Lagian saya jenis pembaca yang kalau baca buku
sering membayangkan saya sebagai karakter utama (ini enggak aneh kan?), jadi
waktu ketemu karakter Nadya yang begitu, walaupun sudah dijelaskan latar
belakang dan pemikirannya, saya enggak merasa itu semua cukup jadi alasan
untuknya melakukan apa yang dia lakukan.
“Eneng boleh
pilih: terima kritikan Bapak secara ksatria atau menangis meratapi bakat Eneng
yang picisan.”
Terus saya
juga merasa beberapa bagian dalam cerita ini dipaksakan, kurang penjelasan, dan
kurang riil. Penjelasan frasa ‘satin merah’ itu sendiri, sangat menarik. Idenya
bagus, untuk dijadikan judul sangat pas, tapi kalau dipakai sebagai yang
dijelaskan di buku ini, terlalu mengada-ada. Terus ceritanya saya rasa agak
terlalu melompat saat Nadya bersinggungan dengan geng motor. Benar-benar saya
merasa bagian itu aneh dan dipaksakan. Terus lagi, kurang penjelasan saat
pembunuhan sastrawan terakhir, siapa yang membajak Facebook si kawan, dan
bagaimana cara menyembunyikan korban nomor dua itu? Ada beberapa kejanggalan lain,
tapi kalau saya teruskan bisa jadi pembocoran cerita dan itu bakal mengganggu
orang yang belum tapi niat baca buku ini.
“Ini bukan
mimpi buruk. Ini kehidupan yang buruk.”
Tapi, buku
ini begitu saya puji-puji di awal karena secara umum berhasil menghipnotis saya
sebagai pembacanya. Seiring membaca Satin Merah, saya bisa merasakan suasana
misterius dan tegangnya. Kekurangan-kekurangan yang saya sebut tadi bisa
ditolerir karena Satin Merah dapat memenuhi kriteria buku bagus menurut saya,
yaitu, emosinya sampai kepada pembaca. Anehnya, saya bisa benar-benar ‘merasakan’
buku Satin Merah tanpa saya merasakan simpati terhadap karakter utama. Makanya
buku ini hebat.
“Dia melihat
deskripsi vital sekali untuk menggambarkan bagaimana suasana tempat ketika
cerita berlangsung, indahnya alam Pasundan, termasuk bahasa dan logat
orang-orangnya. Coba kalau semua itu dikesampingkan, beberapa tahun ke depan
orang pasti lupa bagaimana Bandung hari ini, kemarin, atau puluhan tahun yang
lalu.”
Satin Merah
juga sangat informatif, terlebih tentang Sastra Sunda, cara menulis, dan dunia
blog. Saya jadi merasa tercerahkan tentang Sastra Sunda. Kedua penulis juga
banyak menjelaskan tentang cara menulis, karena cerita Satin Merah adalah
tentang si Nadya yang enggak bisa menulis sastra, tapi berambisi ingin jadi
sastrawan. Jadi seiring kita membaca Satin Merah, kita juga jadi tahu apa saja
yang dia pelajari supaya bisa menulis dengan baik. Dan penjelasan tentang blog
serta trik-triknya benar-benar bikin saya merasa anak kemarin sore di blogosfer
ini (yang memanglah iya).
“Kamu berdosa
kalau berhenti menulis.”
Intinya,
Satin Merah sangat menarik buat saya. Pembaca yang mau coba cerita yang tidak
umum di dunia pernovelan Indonesia, ayo baca yang ini. Tidak terlalu kompleks
dan bagus buat menambah pemahaman tentang Sastra Sunda.
Kutipan lainnya.
“Manuskrip-manuskrip
kuno kita dibeli dari orang-orang Kalimantan dan Sumatra dengan harga 1-2 juta
rupiah, pemerintah diam saja.”
“Tapi, kamu
juga harus menghindari bergaul dengan orang-orang yang hobi berkata negatif.
Termasuk mereka yang suka mengeluh, pesimis, menyumpah-nyumpah, berkata jorok,
merendahkan. Hindari, atau hatimu akan jadi lebih mudah busuk.”
__________
Waktu saya sudah sampai halaman terakhir dan masih enggak suka dengan si tokoh utama...
No comments:
Post a Comment
Hi! Thanks for stopping by. I ALWAYS love book talks! So, do leave your comment about this post, it's free ;)