Sunday, October 27, 2013

The Fault in Our Stars – John Green


Green, John. 2012. The Fault in Our Stars. New York: Dutton Books.
Rating 3,5 bintang
(review in English, click here)

The Fault in Our Stars

Kenapa saya baca buku ini?
Buku John Green pertama saya. Saya juga heran kenapa saya mau-mau saja baca buku ini. Ini menyalahi aturan saya sendiri.... Jadi, waktu itu saya lagi nengok-nengok Youtube dan enggak sengaja sampai pada video ini. Dia mengulas The Fault in Our Stars. Komentarnya sangat positif tapi jelas-jelas dia bilang kalau dia menangis sepanjang buku ini. Dan, saya tipe pembaca yang enggak suka baca buku fiksi tragis, atau buku yang memang sengaja dibuat untuk bikin pembaca menangis.

Agak lepas dari topik, dipikir-pikir, sebenarnya saya enggak punya alasan yang solid sih kenapa saya membaca buku.... Sepertinya sebagian besar alasan saya membaca buku adalah sebagai pelarian. Makanya saya lebih suka buku happy-ending. Saya ingin cari senang, makanya saya baca buku. Yah, dunia yang sebenarnya sudah cukup tragis, jadi kenapa juga bahkan dalam dunia buku saya perlu cerita fiksi yang tragis? Kan? Memang beda halnya kalau saya membaca buku non-fiksi yang tragis. Saya bisa dengan mudah menerimanya sebagai kenyataan ataupun potongan sejarah karena memang kenyataan itu enggak selalu indah tapi harus tetap dihadapi dengan tabah. Makanya saya merasa enggak perlu menyediakan waktu untuk menghayati cerita fiksi yang tragis, karena itu toh bukan kenyataan.

Jadi, kenapa juga saya baca buku yang terkenal karena kesuksesannya membikin pembacanya pada menangis ini? Lagi, karena video Youtube yang saya tonton itu. Dia bilang, setelah membaca The Fault in Our Stars, dia terpikir tentang lagu Forever and Always-nya Parachute. Nah, saya malah lebih penasaran sama lagu itu. Jadi saya cari lagu itu. Download. Cari teksnya sekalian. Dengar lagunya sambil lihat teksnya. Nangis sesenggukan. Dengarin ulang. Tetap nangis. Coba dengar ulang lagi. MASIH BIKIN NANGIS! Serius. Sampai tulisan ini diturunkan, saya masih akan menangis kalau dengar lagu itu. Saya suka lagunya walaupun tragisnya enggak ketolongan. Jadi, saya merasa kayak semacam terbeban untuk baca The Fault in Our Stars karena saya begitu mengapresiasi lagu itu, walaupun sebenarnya keduanya (si buku dan si lagu) benar-benar enggak berhubungan.

Ulasannya.

Ignorance is bliss.

Saat mulai baca dan ‘ngeh’ ini buku tentang penderita kanker, saya sebenarnya agak enggan untuk melanjutkan. Bisa dibilang, saya dikelilingi oleh penderita kanker. Beberapa orang penting dalam hidup saya sudah meninggal karena ‘kalah’ oleh kanker. Ada juga yang sampai sekarang masih berjuang. Saya sadar, saya sendiri sangat berpotensi untuk penyakit ini, karena banyaknya kematian akibat kanker di silsilah keluarga saya. Selama ini saya menghindari topik tentang kanker. Kalau ada orang ngomong tentang kanker, saya cuma mendengarkan, atau pura-pura mendengarkan. Sakitnya ditinggal orang tersayang karena penyakit ini, membuat saya mati rasa dan selalu ingin kabur dari kenyataan. Saya sadar betul, ini salah satu dari masalah saya, masalah-tak-terpecahkan-tapi-sengaja-tidak-saya-cari-solusinya.

I always had this secret suspicion that I was special.

Tokoh utama, remaja 16 tahun, Hazel Grace, penderita jenis kanker yang membuatnya susah bernapas karena paru-parunya senantiasa kelebihan cairan. Saya sebenarnya suka dengan cara dia berpikir dan menghadapi penyakitnya, tapi saya rasa pada kenyataannya enggak seperti itu. Cara Hazel, menurut saya, terlalu ‘ideal’ untuk penderita kanker. Andai saja memang para penderita kanker di dunia bisa sekuat, serasional, sesabar, dan tentu saja, seberuntung Hazel Grace. Makanya saya makin enggak bisa menghayati sosok Hazel saat membaca buku ini.

“Keep your shit together,” I whispered to my lungs.

Kemudian ada Augustus Waters, remaja 17 tahun, penderita jenis kanker yang membuatnya kehilangan sebelah kakinya. Augustus sempurna dengan ketidaksempurnaannya. Maksud saya, untuk anak culun kayak saya, Augustus itu sangat sempurna. Metafora-metaforanya sangat menarik, kecerdasannya terlihat dari wawasan dan caranya berpikir dan melihat sesuatu, ketulusan dan spontanitasnya top banget pula, oh jangan lupa kemampuannya menghasilkan kalimat-kalimat romantis tingkat dewa. Walaupun kakinya enggak ada sebelah, dia digambarkan berperawakan ganteng dan berbadan bagus. Lagi-lagi, terlalu enak buat jadi kenyataan. Yah, ini memang fiksi, tapi bahkan itu terlalu enak enggak sih untuk ukuran novel kontemporer?

I’m in love with you, and I’m not in the business of denying myself the simple pleasure of saying true things. I’m in love with you, and I know that love is just a shout into the void, and that oblivion is inevitable, and that we’re all doomed and that there will come a day when all our labor has been returned to dust, and I know the sun will swallow the only earth we’ll ever have, and I am in love with you.

Enggak ada yang terlalu mengejutkan dari buku ini. Ceritanya biasa, tapi ditulis dengan sangat baik oleh Green. Terus terang, saya bisa terus baca sampai selesai karena Green benar-benar punya selera humor yang bagus dan gaya tulisan Green memuaskan selera saya. Tapi setelah saya pikir lagi, sebenarnya apa yah maksud cerita ini disampaikan? Sepertinya lebih kena ke sisi filosofi daripada romansa. The Fault in Our Stars lebih membuat saya berpikir tentang kehidupan daripada terlena dengan cerita cinta Hazel-Augustus. Apalagi kedua tokoh utama ini sama-sama punya cara pandang yang dalam tentang hidup dan apapun, jadi saat baca buku ini, saya lebih tertarik memikirkan apa yang mereka bilang itu.

Sometimes you read a book and it fills you with this weird evangelical zeal, and you become convinced that the shattered world will never be put back together unless and until all living humans read the book.

Terus, apa saya menangis membacanya? Iyalah pasti. Tapi bukan karena ceritanya, lebih karena saya agak jelas bisa membayangkan penderitaan dan rasa depresi yang dihadapi pasien kanker, dan bagaimana perasaan keluarganya. Buang air di tempat tidur, muntah tak terkendali, ngomong ngelantur, itu semua menyakitkan untuk dialami, dan sama menyakitkannya untuk dilihat. Satu lagi yang bikin saya menangis di buku ini, waktu baca akhir ceritanya. Seriusan, itu baru mengharukan banget.

God, grant me the serenity to accept the things I cannot change, the courage to change the things I can, and the wisdom to know the difference.

Saya tahu, rating 3,5 bintang kayaknya enggak adil banget untuk The Fault in Our Stars. Tapi ini murni subjektivitas saya dan tidak dimaksudkan untuk menggambarkan kualitas buku ini yang sebenarnya. Saya tidak menyesal kok sudah membaca buku ini. Tapi untuk memberikan rating 4 bintang, yang artinya ‘sempurna’ dalam sistem rating saya, agak berat juga. Mungkin karena saya menanggapi buku ini terlalu personal dan agak susah membayangkan kalau ada dunia paralel di mana penderita kanker bisa seperti Hazel dan Augustus....

I take quite a lot of pride in not knowing what’s cool.

Pada akhirnya, yang bisa saya petik dari buku ini adalah, semenderita apapun keadaan yang dihadapi, usahakan rasa humor tidak kandas. Hal terbaik pada saat susah adalah bisa tersenyum walaupun tidak menemukan alasan untuk itu, dan bisa membuat orang lain juga tersenyum.

“I’m pretty sure all asses are blind,” Isaac answered.

Kutipan lainnya.
“I went to Support Group for the same reason that I’d once allowed nurses with a mere eighteen months of graduate education to poison me with exotically named chemicals: I wanted to make my parents happy.”

“My third best friend was an author who did not know I existed.”

“We’d gone perhaps a mile in jagged silence before Augustus said, “I failed the driving test three times.” “You don’t say.””

“I didn’t tell him that the diagnosis came three months after I got my first period. Like: Congratulations! You’re a woman. Now die.”

“Pain demands to be felt.”

“Not Disney,” he said. I said nothing.”

“... most parents don’t know really their children.”

“My thoughts are stars I can’t fathom into constellations.”
__________

Saya sebenarnya sangat menikmati gaya menulis Green, tapi apakah saya berencana baca buku dia yang lain dalam waktu dekat? Kayaknya...

5 comments:

  1. wah, kenapa nggak mau membaca bukunya yang lain? nggak semua tentang kanker kok (padahal aku juga baru baca buku ini)
    membaca buku ini antara miris dan bikin senyum-senyum, Augustus bener-bener romantis dengan caranya sendiri :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Soalnya kayaknya buku John Green yang lain juga pada bikin nangis. Aku kan gak hobi baca buku yang mewek2 gitu ;(

      Yah, sebenarnya baca buku ini enak karena John Green emang cara nulisnya jago. Dan lucu. Dan romantis. Tapi sedih.

      Delete
  2. Paper Towns sih katanya happy ending, San (katanya yaaa. Aku juga belum baca)

    Eugh...aku ngerti perasaan personalmu baca buku ini. Aku juga gitu (tapi karena liat pasien sih). Tapi yah....suratnya Augustus itu bikin aku kasi 5 bintang

    Btw Forever & Always-nya Parachute itu kesukaanku juga. Not because that song reminds me with this book. But because that song hits close to home for me :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hm, tapi aku banyak baca review gak bagus untuk Paper Town mbak. Lagian katanya juga formula nulisnya gitu2 aja (katanyaaaa juga yah).

      Mbakdew, jangan anggep aku stalker yah, tapi aku (kayaknya) tau kenapa lagu itu ngena banget untuk mbak. Jadi aku tadinya mau bilang gini di review ini...

      "Saya enggak suka buku yang saya tahu bakal tragis dan bikin nangis. Misalnya buku *tebak ayooo*. Enggak bakal baca itu karena semua orang udah bilang itu buku sedih dan ada meninggal2nya."

      Dan, waktu mau bikin link GR-nya, terus tertengoklah review curcol mbakdew itu. Sedih banget pengalaman mbak itu, tapi manusia makin kuat kalo udah ngelewatin cobaan yang makin berat! Yeah! Semangat semangat~

      Delete
  3. Hahaha...... #speechless #gaktaumaungomongapa

    Tapi terima kasih buat semangatnya :)

    ReplyDelete

Hi! Thanks for stopping by. I ALWAYS love book talks! So, do leave your comment about this post, it's free ;)



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...