Lippert-Martin, Kristen. 2014. Tabula Rasa. New York: Egmont USA.
Pertama saya lihat buku ini di rak buku salah satu teman di Goodreads. Sampulnya keren, dan saya tertarik sekali setelah baca ringkasan bukunya. Katanya ini layaknya The Bourne Identity ketemu Divergent. Saya sih belum baca Divergent, tapi dinilai dari popularitasnya yang tinggi, kayaknya itu novel boleh juga. Dan tentu saja, saya penggemar berat The Bourne Identity, maka saya pun makin penasaran jadinya. Terus ternyata ini tentang perempuan yang semacam hilang ingatan begitu (selera saya banget, cuy). Kesimpulannya:
MAU MAU MAU! Kasiin ke gueee! |
Dan saya coba minta ARC-nya (advance reader copy) ke NetGalley, walaupun penerbitnya bilang mereka cuma mengutamakan permintaan pembaca dari Amerika Serikat dan Kanada, saya tetap saja mengajukan permintaan ARC-nya, saya sudah kepingin banget! Dan saya pun dikasih ARC-nya. Reaksi saya:
Oke, inti omongan panjang lebar saya di atas adalah, saya berharap sangat BESAR terhadap Tabula Rasa ini. Dan ternyata saya agak-agak kecewa jadinya malah. Tapi saya tetap merasa buku ini oke kok, cuma enggak seoke yang saya harapkan. Cukuplah sebagai bacaan ringan dan menghibur. Nah, menurut Merriam-Webster, ‘tabula rasa’ berarti ‘lembaran baru’, atau lebih tepatnya,
1 : the mind in its hypothetical primary blank or empty state before receiving outside impressions2 : something existing in its original pristine state
Keadaan seperti ‘lembaran baru’ inilah yang hendak dikondisikan kepada Sarah, perempuan botak tokoh utama novel ini, dengan cara eksperimen otak yang akan menghapus memorinya sehingga dia ‘bersih’ dari pengalaman-pengalaman hidup sebelumnya. Proyek Tabula Rasa ini akan membantu orang-orang yang mempunyai pengalaman hidup traumatis yang sudah mengganggu kejiwaannya agar dapat melupakan traumanya.
Di novel ini ceritanya, banyak orang berlomba-lomba mengajukan diri untuk dihapus memori traumatisnya. Sementara, Sarah yang sudah hampir ‘bersih’ sama sekali dari memorinya, malah merasa dia tidak seharusnya ada di rumah sakit lokasi eksperimen tersebut, bagaimana pun mengerikannya pengalaman hidupnya, namun dia merasa apa yang pernah dilaluinyalah yang membentuk dirinya. Dalam keadaannya yang sudah tidak bisa mengingat apa-apa lagi, dia justru merasa seperti bukan siapa-siapa, bukan apa-apa. Kemudian dia bertemu Thomas, laki-laki yang akan membantunya kabur dari rumah sakit. Namun justru Thomas iri dengan keadaan Sarah yang bisa tidak perlu lagi mengingat masalah-masalahnya.
Menurut kalian bagaimana? Apakah kalian juga akan memilih ikut proyek Tabula Rasa demi melupakan pengalaman traumatis kalian? Atau kamu sepakat dengan Sarah? Mungkin kebanyakan akan sepakat dengan Sarah yah. Tapi, saya rasa, kita juga enggak bisa menyalahkan orang-orang yang lebih memilih jalan untuk menghapus memori kelamnya sebagai penyelesaian masalah mereka. Ada kutipan dari Paulo Coelho yang selalu saya camkan sejak pertama kali saya dengar, katanya, “We can never judge the lives of others, because each person knows only their own pain and renunciation. It’s one thing to feel that you are on the right path, but it’s another to think that yours is the only path.”
Yang saya suka sekali dari Tabula Rasa adalah perkembangan hubungan Sarah dengan Thomas yang, walaupun cepat dan terjadi dalam waktu yang sangat singkat, terasa logis dan manis tanpa terasa seperti cinta-instan. Mungkin pengaruh cerita yang melibatkan pergumulan hidup dan mati kali yah, jadinya mereka mau enggak mau harus bergantung satu sama lain dan alhasil jadi saling percaya.
Dialog-dialog di antara mereka mulus dan lucu dan bikin saya ingin lihat lebih banyak lagi percakapan antara mereka berdua. Saya suka sih sama Sarah, tapi saya jauh lebih suka sama si Thomas. Dia tipe karakter yang gampang banget disukai karena humornya, senyumnya (yang menurut Sarah oke banget), kebaikan hatinya, dan kecerdasan otaknya. Terus, entah kenapa, saya rasa Thomas punya teori ciuman yang manis banget dan saya pun,
Terlebih lagi, saya puas sekali dengan akhir ceritanya. Rasanya pas sekali saja saat ceritanya berakhir di titik tersebut. Saya bahkan nyengir-nyengir sendiri sambil baca akhir ceritanya beberapa kali saking puasnya dengan itu akhir cerita. Pokoknya saya suka banget sama akhirnya!
Nah, yang saya kurang suka dari novel ini ada beberapa hal sih. Pertama, Sarah bisa pura-pura mati dan berhasil menipu pembunuh bayaran profesional sampai DUA kali. Masa iya sih? Cara mengecek kematiannya juga aneh banget! Enggak profesional banget, serius.
Terus, saya merasa inti semua permasalahannya terlalu berlebihan. Bagi saya, si penjahat enggak punya alasan yang cukup kuat untuk melakukan kejahatannya sampai sebegitu dahsyatnya. Sehingga keseluruhan ceritanya sempat terasa kering di bagian tertentu dan ya, enggak bisa diterima.
Makanya, walaupun Tabula Rasa dikategorikan sebagai thriller, saya malah kurang merasakan tuh bagian menegangkannya. Justru lebih menarik melihat perkembangan hubungan kedua tokoh utamanya. Saya sih ingin sekali melihat novel selanjutnya dari Kristen Lippert-Martin, tapi novel romansa. Pasti bakal bagus deh.
Ini sedikit kutipan percakapan Sarah dan Thomas,
“I’m sorry. I thought I was losing you.”His eyes open to slits. “I’m still here. For you.”“What is it? What is the Velocious thing?”“We should kiss now,” he says.“Thomas, please.”“No, I mean it. These tragic circumstances require it. Plus, it’s the second thing on my bucket list: Kiss a bald girl. You can’t say no.”“I’m not going to be a tragic victim, and neither are you.”“Kiss me and I’ll tell you what Velocious is. What are you.”“That’s not fair.”“I know. I’m a huge jerk.”
thanks infonya, bisa di jadikan referensi untuk koleksi novel selanjutnya..
ReplyDelete