Handler, Daniel. 2011. Why
We Broke Up. New York: Little, Brown and Company.
Rating 2 bintang
Saya berhenti di
32% dari buku ini. Dan, ya ampun, untuk sampai di 32% itu aja udah perjuangan
banget.
Judulnya yang intimidating bikin saya menunda baca
buku ini sejak lama. Tapi, setelah mengalami putus hubungan romantis baru-baru
ini, saya merasa inilah waktu yang tepat untuk baca buku ini. Jadi bisa dibilang,
harapan saya cukup tinggi sebelum mulai baca Why We Broke Up.
Buku ini berupa
surat panjang (banget) yang ditulis Min untuk Ed Slaterton, mantan pacarnya.
Isinya menjelaskan kenapa mereka akhirnya putus. Selain mengirimkan surat, si
Min ini juga ngirim barang-barang memento mereka berdua selama ini. Ada
macem-macem. Dari tutup botol pas mereka pertama kali ngobrol, tiket nonton
bioskop, robekan poster, mainan mobil truk, dan barang-barang kecil lain yang
semuanya dimasukkan ke satu kotak. Untuk setiap barang, Min menjelaskan cerita
di balik barang itu dan semuanya diakhiri dengan “and that’s why we broke up”.
Penceritaan dari
sudut pandang pertama, apalagi berbentuk surat satu arah, bikin novel ini gak
enak diikuti. ‘Suara’Min bener-bener datar dan jatohnya ngebosenin. Udah gitu,
karakter Min juga bukan jenis karakter yang likable
and relatable. Dia sering ngoceh
tentang film-film superduper jadul yang saya gak pernah denger. Dia juga banyak
ngomong sambil ngambil referensi dari film-film jadul yang saya gak tau itu.
Kayaknya satu-satunya kesamaan saya sama Min cuma sama-sama baru putus dari
pacar dan lagi berusaha move on.
Selain dari itu, nihil.
Saya gak ngerti
kenapa tiba-tiba dia bisa suka sama Ed di awal, apalagi sepertinya mereka gak
ada kesamaan dan dari strata popularitas yang berbeda. Min itu anak perempuan
yang cuek, sarkas, gila film-film lama, nyeni, dan aneh. Sementara Ed, tipikal
anak populer SMA di luar negeri sono, bintang di klub basket, ganteng, badannya
jadi, pinter ngerayu, bla bla bla. Hubungan mereka yang instan terjalin dan
reaksi Min yang kasmaran bukan main bikin saya kurang bisa nikmatin ceritanya.
Terus, dari 32%
itu, yang saya dapet, si Min putus sama si Ed gara-gara si Ed yang gak sesuai
sama ekspektasi Min. Padahal udah jelas banget dari awal si Ed itu gimana. Si
Minnya aja yang milih nutup mata dari awal (ini kok gue sewot sendiri?).
Iya sih cinta itu emang buta kayaknya. Intinya, kita dari awal udah tau kalo Min dan Ed ini putus. Mau sebagus
atau sejelek apapun si Ed pada akhirnya, toh mereka udah putus juga.
Saya rasa yang
bisa saya petik moralnya dari buku ini adalah think negative.
Iya loh. Kalau kita abis mengakhiri hubungan yang sempet sangat kita hargai
sebelumnya, biasanya yang bikin kita susah move
on adalah karena kita terus kebayang-bayang waktu-waktu indah sama si
mantan. Di buku ini, Min ngasih tau hal-hal yang dia gak suka dari Ed semasa
mereka pacaran, yang kemungkinan waktu mereka masih pacaran hal-hal itu
dianggap lalu. Kita diajak untuk berpikir secara lebih jernih tentang
kekurangan mantan kita. Akhirnya kita sampai pada kesimpulan, ternyata dia emang gak baik buat gue.
Tapi, walau
bagaimana pun, saya udah bosen banget sesampainya saya di 32% buku ini dan
merasa waktu saya seharusnya bisa saya habiskan untuk buku yang lain yang
ngantri dibaca. Saya juga mesti bilang kalau poin tambah buku ini ada di ilustrasi-ilustrasinya
yang cantik dan artistik dari Maira Kalman.
No comments:
Post a Comment
Hi! Thanks for stopping by. I ALWAYS love book talks! So, do leave your comment about this post, it's free ;)