Saturday, September 7, 2013

Gadis Jeruk - Jostein Gaarder



Edisi Gold memperbarui terbitan 2005.
Gaarder, Jostein. 2011. Gadis Jeruk. Jakarta: Penerbit Mizan.
Rating 4 bintang
(review in English, click here)

Kenapa saya baca buku ini?
Saya mau baca buku ini karena saya BELUM bisa menyelesaikan satu karya Gaarder yang termasyhur, yaitu Dunia Sophie. Iya saya tahu itu buku bagus, tapi enggak tahu kenapa saya macet di tengah (bahkan belum sampai di tengah) dan menurut saya itu jenis buku yang enggak bisa ditunda-tunda. Harus sebisa mungkin sekali baca selesai. Mungkin waktu itu belum waktu saya untuk membaca Dunia Sophie. Jadi, waktu tahun lalu saya lihat Gadis Jeruk terpampang manis di rak toko buku, tanpa pikir panjang saya langsung beli, bahkan saya enggak baca lagi ulasan di sampul belakangnya. Satu, karena saya masih belum mau menyerah dengan Gaarder. Soalnya sama seperti pembaca umumnya, saya tipe yang sering pilih buku dari penulisnya. Misalnya saya suka Inferno (SAYA BELUM PUNYA TAPI MAU BANGET!!!), maka saya akan otomatis menganggap karya Dan Brown yang lain juga mantap. Kayaknya inilah beban moral penulis yang paling berat yah? Untuk mempertahankan standard kualitas karyanya. Dua, karena bukunya JAUH lebih tipis daripada Dunia Sophie. Saya sudah mengira Gadis Jeruk akan bicara tentang filsafat juga, dan saya pikir kalau cuma dua ratusan halaman sih dipaksakan pasti bisa lah selesai. Ternyata saya enggak perlu terlalu memaksakan diri.


Ulasannya.
“Aku bisa menunggu hingga hatiku berdarah lantaran duka.”
Mungkin orang banyak menganggap Gadis Jeruk sebagai novel filsafat, memang iya sih, tapi entah kenapa otak saya lebih tertarik pada konsep mencinta yang dituturkan di dalam novel ini. Apakah saya memang anak perempuan yang keperempuanan sekali? Saya enggak pernah pikir begitu. Tak bisa disangkal, unsur filsafat sangat kuat di dalam Gadis Jeruk. Tapiii, saya enggak bisa enggak menyebutkan betapa saya sangat terpesona pada kemampuan anak manusia dalam mencinta seperti dalam novel ini. Saya hampir yakin hal seluarbiasa itu tidak eksis di dunia-bukan-buku ini.
“Waktu, Georg, apakah waktu itu?”
Georg, anak laki-laki berumur 15 tahun, tiba-tiba dihadapkan pada surat panjang yang ditulis ayahnya sebelum meninggal sebelas tahun yang lalu. Dari sini saja harusnya kita sudah tidak punya alasan lagi kan untuk tidak membaca buku ini? Plotnya keren!
“Dia menulis surat untuk masa depan.”
Surat tersebut bercerita tentang ayah Georg yang pada masa mudanya bertemu seorang gadis yang dijulukinya Gadis Jeruk. Ceritanya SANGAT detail. Alurnya sebenarnya cepat tapi justru detail-detail tadi yang kadang membuat saya enggak sabaran. Karena ayah Georg menawarkan banyak teka-teki di suratnya, dan saya terus-terusan berpikir, “Apa? Siapa? Kenapa? KASIH TAHUUU!!!” sambil mata saya secepat mungkin melahap semua kata di setiap halamannya.
“Kadang-kadang aku berharap hidup sebelum penemuan tabel perkalian, dan tentu saja sebelum fisika modern dan kimia, sebelum kita pikir kita tahu segala sesuatu. Maksudnya hidup dalam DUNIA YANG BENAR-BENAR AJAIB!”
Membaca Gadis Jeruk, saya terpana pada cara ayah Georg mengejar cintanya, cara dia berpikir, dan cara dia melihat dunia. Saya jadi mendamba dicintai sedalam itu, setulus itu. Reaksi-reaksinya saat bertemu si Gadis Jeruk bikin saya merinding! Bahkan begitu terpikatnya saya, saya lupa kalau dia sudah mati, jelas disebutkan di kalimat pertama buku ini. Itu bikin saya sangat sedih. Karakter yang semakin kita kenal seiring membaca buku ini, ternyata sudah mati dari awal.
“Sekarang, kami tidak bisa lagi saling menaruh harapan, kami tidak bisa berbagi harapan bagi waktu yang terbentang di hadapan kami.”
Menariknya, buku ini terdiri dari dua sudut pandang sekaligus, Georg dan ayahnya. Namun karakter utama saya rasa ada pada ayah Georg. Iya, saya tahu siapa nama ayah Georg, dan iya saya sengaja enggak sebutkan karena alasan yang akan saya bilang di paragraf setelah ini. Namun, harus saya akui, jawaban dari teka-tekinya sudah bisa ditebak di tengah-tengah cerita. Tapi tentu kita tidak akan yakin sampai jawabannya terpampang di depan mata kita. Jadi, walaupun saya sudah bisa menebak jawaban-jawabannya, saya tetap membaca sampai akhir tentang perjalanan ayah Georg yang digambarkan dengan kesan magis. Menarik. Gadis Jeruk membuat kita berpikir, merenung tentang kehidupan.
“Sekadar memikirkan keberadaan ruang angkasa saja sudah membuat pikiran takjub. Tapi ada anak-anak perempuan yang tidak bisa melihat alam semesta lantaran eyeliner. Dan barangkali ada anak-anak laki yang matanya tak pernah melebihi cakrawala lantaran sepak bola.”
Saya tidak akan membahas tentang isinya lebih daripada yang sudah saya sebutkan (sedikit sekali, iya tahu, bahkan kalian bisa dapat lebih banyak informasi hanya dari sampul belakang buku ini). Bukan enggak mau, tapi saya enggak bisa tanpa harus membeberkan poin-poin penting yang saya rasa lebih baik Anda ketahui seiring membaca buku ini. Saya INTOLERAN pada orang yang membocorkan cerita dari buku yang belum saya baca, apalagi kalau ternyata yang dibilangnya poin yang signifikan, pergi sana husss! Jadi, saya juga sebisa mungkin menghindari yang begitu. Yang susahnya, seperti saya bilang sebelumnya, buku ini penuh teka-teki! Kalau saya asal mengungkapkan sesuatu, yang ternyata penting, Anda mungkin jadi kurang bisa menikmati buku bagus ini.
“Lihatlah dunia ini, Georg, lihat dunia ini ketika engkau belum menjejali dirimu dengan terlalu banyak fisika dan kimia.”

Kutipan lainnya.
“... tidak selalu mudah untuk menemukan apa yang mesti dikatakan kepada seorang gadis yang—kata orang—‘kau sukai tampangnya’.”

“Aku sebeku es, aku terbakar api.”

“Jika ada satu keahlian yang sama-sama kami miliki, itu adalah saling berjumpa secara kebetulan.”

“Aku bukan sekadar kupu-kupu untuk kamu tangkap.”
__________

Saya, waktu sangat terpikat pada karakter ayah Georg dan sadar kalau dia sudah mati dari awal...
"TIDAAAK!!!"

No comments:

Post a Comment

Hi! Thanks for stopping by. I ALWAYS love book talks! So, do leave your comment about this post, it's free ;)



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...